Oleh: Waluyo*)
RADARDEPOK.COM -- Tidak dapat dipungkiri, Indonesia memang dianugerahi keragaman yang luar biasa. Keragaman tersebut dapat dilihat antara lain dari jumlah suku bangsa, ras dan agama. Dalam hal suku, misalnya, Indonesia memiliki ratusan suku bangsa. Sumber informasi resmi Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 300 suku bangsa.
Dari sejumlah itu, terdapat suku besar seperti Jawa, Sunda dan Batak. Tentu masih ada suku lain yang cukup besar seperti Bugis, Madura dan Minangkabau. Sedangkan dalam hal ras, Indonesia juga memiliki keragaman, setidaknya terdapat empat ras di Indonesia. Laman Kompas.com menyebutkan keempat ras tersebut terdiri atas Ras Malayan Mongoloid, Melanesoid, Asiatic Mongoloid, dan Kaukasoid Indic. Adapun dalam hal agama, terdapat enam agama resmi yang diakui yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu.
Dalam berinteraksi, masyarakat yang berasal dari satu suku dapat menerima dengan mudah keberadaan masyarakat dari suku lain, namun ada juga yang sulit menerima. Dalam kondisi ekstrim dan ketidakterimaan ini dapat mengarah terjadinya konflik sosial dalam berbagai dimensi.
Demikian juga dalam hal umat beragama, sikap ketidakterimaan keberadaan penganut agama lain, dapat menjurus pada tindakan anarkis destruktif. Jika merunut sejarah dinamika sosial selama ini, negeri kita memiliki pelajaran sangat berharga terkait dengan itu, sehingga kita bertekad kuat agar tidak terjadi di masa yang akan dating bagi kita dan generasi masa depan.
Sebagai bagian dari masyarakat, warga sekolah dasar saat ini semakin terbuka terhadap warga yang memiliki keragaman latar belakang. Sikap terbuka menerima kehadiran warga sekolah yang memiliki latar belakang yang berbeda perlu ditanamkan kepada siswa. Sekolah dasar merupakan fondasi pendidikan formal dan siswa sekolah dasar yang berada pada usia emas. Keduanya memiliki kontribusi besar dalam penanaman dan penyebarluasan gagasan penerimaan keragaman latar belakang budaya.
Pembejaran keragaman budaya di sekolah dapat dilaksanakan melalui penguatan konten pembelajaran, yaitu muatan keragaman budaya. Secara teknis, muatan ini dapat dilaksanakan dalam tiga strategi; pertama, diintegrasikan dalam pembelajaran; kedua, masuk dalam ekstrakurikuler dan ketiga, adanya muatan lokal. Sekolah dapat memilih strategi yang paling sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya.
Namun demikian, dengan jumlah sekolah yang begitu banyak menjadi tantangan tersendiri dalam membumikan muatan keragaman budaya bagi peserta didik. Data Pokok Pendidikan Kemdikbudristek menyebutkan bahwa jumlah SD mencapai lebih dari 149 ribu. Oleh karena itu perlu tahapan dalam membumikan muatan ini bagi siswa sekolah dasar.
Menarik apa yang disebutkan oleh Everett M. Rogers dalam bukunya Diffusion of Innovations (1983). Menurutnya, ada lima kategori dalam bergulirnya sebuah gagasan meliputi tahapan (1) inovator, (2) early adopters (pengikut awal), (3) early majority (mayoritas awal), (4) later majority (mayoritas akhir), dan (5) laggards (terlambat).
Pertama, inovator (2,5 persen). Sekolah yang berani melaksanakan muatan keragaman budaya ini baru sekitar 3.700-an. Sekolah ini memilki keberanian untuk memulai, mengambil resiko, berani gagal dan berani bertanggung jawab jika pelaksanaan muatan pendidikan ini tidak berhasil.
Sekolah yang berinisiasi menjadi inovator ini akan menjadi penjaga garda terdepan dalam mengawal muatan keragamn ini. Inovator ini lebih banyak berada di daerah perkotaan, artinya sekolah yang berada di ibu kota provinsi atau ibu kota kabupaten/kota. Sekolah ini belum tentu sekolah yang memiliki sarana dan prasarana memadai, tetapi kemauan kuat kepala sekolah dan guru menjadi penentu dalam melaksanakan muatan keragaman budaya.
Kedua, pengikut awal (13,5 persen). Sekolah yang melaksanakan muatan keragaman budaya ini akan menjadi pengikut awal dan mereka berada lebih dekat dengan sekolah lain di luar perkotaan, bisa dalam dalam satu gugus atau atau dalam satu kecamatan. Sekolah pengikut awal ini akan mempengaruhi opini yang berkembang di sekolah sekitar. Fungsi strategis pada sekolah pengikut awal ini adalah mengurangi keraguan terhadap implementasi muatan keragaman budaya di sekolah. Sekolah pengikut awal ini juga sekaligus berperan sebagai role model bagi sekolah lain.
Ketiga, mayoritas awal (34 persen). Mayoritas awal ini berjumlah cukup dominan, sekitar 50 ribu SD. Sekolah ini dengan sengaja melaksanakan muatan keragaman budaya, sebelum mayoritas sekolah lain melaksanakannya. Sekolah-sekolah tersebut cukup inten berinteraksi dengan sekolah lain. Sekolah ini juga sekalgus menjembatani antara pengikut awal dan mayoritas belakangan. Sekolah ini memang sengaja menerapkan ide, tetapi jarang menjadi yang terdepan.
Keempat, mayoritas akhir (34 persen). Mayoritas yang terlambat ini jumlahnya sama dengan mayoritas awal. Bedanya adalah sekolah ini lebih bersikap skeptik. Mereka akan melaksanakan program keragaman budaya sekiranya menguntungkan. Mereka akan menunggu ketika hampir semua sekolah melaksanakan. Mereka bisa diyakinkan dengan manfaat muatan pendidikan keragaman budaya, namun mereka membutuhkan tekanan dari kelompok mereka. Keterbatasan sumberdaya mengharuskan adanya penghilangan keraguan pada gagasan keragaman budaya sebelum mayoritas akhir ini merasa nyaman untuk melaksanakan keragaman budaya di sekolahnya.
Kelima, ketinggalan (16 persen). Ketinggalan ini seperti ini merujuk kepada sekolah yang ketinggalan melaksanakan program keragaman budaya. Sekolah ini umumnya bergaul dengan sekolah lain yang sama-sama ketinggalan. Ketika mereka melaksanakan muatan pendidikan keragaman budaya, ternyata sekolah lain sudah berhasil melaksanakan muatan pendidikan keragaman budaya, dan beralih ke inovasi-inovasi untuk menyempurnakan pelaksanakan muatan pendidikan ini. Sekolah yang ketinggalan ini mereka merasa curiga dengan gaasan baru.
Jika kembali melihat jumlah sekolah dasar yang mencapai 149ribuan, jumlah 2,5 persen mungkin terlalu banyak untuk menjadi inovator. Penulis berpendapat bahwa satu persen sekolah dasar yang melaksanakan muatan pendidikan keragaman budaya sudah cukup sebagai inovator. 1.490 sekolah yang memenuhi kualifikasi inovator bisa jadi sudah cukup. Apakah semua sekolah dapat sepakat melaksanakan muatan keragaman budaya. Mungkin tidak, satu persen terakhir mungkin memilih tidak menerapkan muatan keragaman budaya, namun itu tidak mempengaruhi sekolah lain.
*)Penulis: Mahasiswa Prodi Doktoral Pendidikan Dasar Universitas Negeri Jakarta