Sumber: Kementrian AgrariaDEPOK –Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia meluncurkan indeks kota layak huni di Indonesia. Survei bertajuk Most Liveable City Index (MLCI) 2017 ini, berbasis pada persepsi warga kota mengenai kelayaakhunian kota tempat tinggalnya.
Menurut data yang dikeluarkan IAP Indonesia, Kota Depok masuk dalam 11 kota yang paling tidak layak huni oleh warganya sendiri. Data tersebut diambil dengan metode kuisioner skala likert.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Depok, Widyati Riyandani mengatakan, belum berani berkomentar terkait hal tersebut. Namun, ia menyatakan kalau hasil penelitian tersebut dapat dijadikan bahan evaluasi, guna meningkatkan program pembangunan di Kota Depok.
“Kami harus mengkaji lagi data itu, seperti bagaimana proses penelitiannya, datanya diambil dari mana dan sebagainya,” kata Widyati saat di konfirmasi Radar Depok, Jumat (2/2).
Mantan Plt Sektreatris Daerah Kota Depok tersebut mengungkapkan, dari lima aspek yang menjadi dasar penilaian dari penelitian itu, kesemuanya telah masuk dalam Rencana Jangka Panjang dan Menengah Daerah (RPJMD) Kota Depok 2019-2021.
“Semua sektor, sesuai prioritas yang tertuang dalam RPJMD yakni pengentasan pengangguran, kemiskinan, ketimpangan dengan berorientasi pengembangan sumber daya manusia dan infrastruktur yang ramah lingkungan, sedang kami kembangkan,” beber perempuan yang biasa disapa Wid tersebut.
Wid, mengambil contoh sarana transportasi, saat ini dinas terkait yakni Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kota Depok, sudah melakukan beberapa upaya seperti menambah kapasitas jalan. “Juga kita sering mengusulkan perencanaan pembangunan transportasi publik yang bersinergis dengan DKI,” lanjut Wid.
Perempuan yang juga pernah menjabat sebaga Camat Cinere ini menambahkan, kedepan 10 program unggulan walikota diharapkan bisa direalisasikan. Hal itu dibuktikan dengan mengeluarkan anggaran pagu kelurahan senilai Rp2 miliar masing-masing kelurahan.
Dari anggaran tersebut dibagi dua yakni maksimal infrastruktur Rp1,5 miliar dan non fisik Rp500 juta. Dengan begitu, ia berharap pemahaman masyarakat dalam perencanaan tidak hanya berfikir membangun fisik, tapi sektor lain, yang bisa mendongkrak pendapatan, daya beli dan berhujung pada pendidikan dan kesehatan
“Sementara pemerintah menyediakan layanan dasar terhadap pelayanan publik,” katanya.
Meski begitu, ia mengatakan, pihaknya bakal mengkaji kembali lima aspek yang menjadi ukuran penelitian, guna meningkatkan pembangunan di Kota Depok. Dan memperbaiki kekurangan terhadap pelayanan publik di kota Sejuta Maulid ini.
“Visinya walikota kan unggul nyaman religius, upaya mewujudkan Kota Depok yang unggul bagaimana lingkungan, ekonomi kreatif, transparan, meningkatkan SDM, untuk meningkatkan kenyamanan,” bebernya.
Sementara, Ketua Umum IAP Benardus Djonoputro mengatakan, survei yang dilakukan dua tahunan ini berguna untuk melakukan indentifikasi awal faktor kritis pembangunan, dengan melibatkan para ahli perkotaan. Nantinya, hasil survei menjadi referensi tunggal bagi para pemangku kepentingan dalam membuat kebijakan.
"Sekarang kota di dunia semakin terbuka, urbanisme bertumbuh, ini pentingnya peran ruang dan tempat perencanaan dan desain agar kota lebih adil. Maka sekarang dalam perubahan kota dibutuhkan peran semua elemen, bukan hanya pemangku kepentingan di pemerintah, tapi asosiasi profesi dan masyarakat juga mesti turut terlibat," ujar Benardus.
Wakil Sekretariat Jenderal IAP, Elkana Catur menambahkan, telah melakukan survei di 26 kota dan 19 provinsi di Indonesia. "Indeks ini dimulai dari perencanaan terhadap kotanya. Ada 29 kriteria yang kami gunakan menggambarkan apa yang diinginkan warga," ujar Elkana di kesempatan yang sama.
Aspek yang dimaksud oleh Elkana salah satunya mencakup kebutuhan dasar warga, partisipasi masyarakat, ekonomi, sosial dan budaya, kualitas lingkungan, keamanan dan keselamatan, dan sarana dan prasarana kota.
Elkana merinci kota-kota yang disurvei yaitu Banda Aceh, Medan, Pekanbaru, Palembang, Bandar Lampung, Tangerang, Tangerang Selatan, Jakarta, Bogor, Depok, Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang, Pekalongan, Surabaya, Malang, Denpasar, Mataram, Pontianak, Palangkaraya, Balikpapan, Samarinda, Banjarmasin, Makassar dan Manado.
Hasilnya, nilai rata-rata nasional kota layak huni sebanyak 63,2 persen. Artinya masih ada 36.8 persen yang belum merasa nyaman tinggal di kotanya.
"Rata-rata indeks Nasional menunjukan masih banyak warga kota yang merasa tidak nyaman tinggal di kotanya. Ini tantangan dan satu kondisi yang harus diatasi dari sisi pelaku usaha, private sektor juga. Jika tidak dikelola maka kota yang diharapkan menjadi pusat budaya itu malah menjadi tidak layak huni," ucap Elkana.
Lebih lanjut, Elkana menyebutkan kota dengan nilai indeks layak huni di atas rata-rata. Salah satu kota yang masuk top cities adalah Tangerang Selatan.
"Ada 7 kota yang masuk top cities alias berada di atas rata-rata, salah satunya Tangerang Selatan menjadi kota yang baru kita survei tapi masuk top cities yang modern paling layak huni, angkanya mencapai 65,4," ujarnya.
Selain Tangerang, kota Solo (66,9), Palembang (66,6), Balikpapan (65,8), Denpasar (65,5) dan Banjarmasin (65,1), turut masuk dalam kota dengan indeks layak huni di atas rata-rata.
Elkana, yang juga menjabat sebagai Ketua Kompartemen Livable City IAP ini, mengungkapkan kota dengan nilai-rata atau 63,2 persen yaitu Pekalongan, Bandung, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Bogor, Palangkaraya, Jakarta, dan Manado.
Menurut Elkana, pihaknya menyebut kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya sulit untuk menempati urutan kota layak huni dengan nilai di atas rata-rata, meskipun semua aspek telah tercukupi.
"Kami punya hipotesis bahwa Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota besar lainnya sulit untuk masuk top cities karena ekspektasi warganya begitu tinggi. Tapi sekarang kota metropolitan masih berjuang menuju kota layak huni," ungkapnya.
Adapun, kota yang berada di bawah rata-rata sebagai kota paling tidak layak huni di antaranya Pontianak (62,0), Depok (61,8), Mataram (61,6), Tangerang (61,1), Banda Aceh (60,9), Pekanbaru (57,8), Samarinda (56,9), Bandar Lampung (56,4), Medan (56,2), dan Makassar (55,7).
"Pontianak dan Medan konsisten menempati urutan bawah. Makassar kota metropolitan dan perekonomian makin maju ternyata malah menurun," jelasnya.
Kelemahan kota yang dianggap masyarakat merasa tidak layak huni, lanjut Elkana, adalah jalur pejalan kaki buruk, kemacetan semakin parah ditambah pembangunan, harga rumah makin tinggi, dan partisipasi warga juga kurang.
"Warga kota juga belum merasa aman dari bencana walau sudah ada program pemerintah ini mungkin karena ketidaktahuan. Sekarang ini sebenarnya banyak warga berharap bisa dilibatkan lebih luas dalam proses pembangunan, ini perlu diperhatikan," tutupnya.(ade)