Senin, 22 Desember 2025

Sepakat Lindungi Identitas Anak

- Jumat, 13 April 2018 | 11:20 WIB
JUNIOR/RADAR DEPOK
KOMPAK: Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo bersama Ketua KPAI, Susanto menandatangi MoU ihwal pemberitaan tentang anak, di Gedung Dewan Pers, kemarin. JAKARTA Dewan Pers menyoroti betul berita-berita yang bersinggungan dengan anak. Mereka meminta awak media untuk lebih berhati-hati, salah satunya dalam hal kerahasiaan identitas anak. Dari masalah ini, Dewan Pers kemudian menggaet Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk membuat MoU guna kemudian menelurkan pedoman penulisan berita tentang anak. “Menurut saya masih banyak rekan media yang belum paham betul aturan yang tertuang di dalam Pasal 19 UU 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA),” ungkap Komisioner KPAI, Retno Listyarti saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk ‘Peliputan dan Pemberitaan Media Tentang Anak’ di Gedung Dewan Pers, Jakarta, kemarin. Kata dia, sesuai UU tersebut, jelas menyebutkan bila dalam pemberitaan harus merahasiakan identitas anak, anak korban, atau anak saksi. Identitas yang dimaksud, meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orangtua, alamat, wajah, dan hal lain yang bisa mengungkap jati diri anak. “Sanksi dari UU SPPA, dapat dipidana paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp500 juta,” beber dia. Retno mengatakan, pemberitaan bagi anak punya dampak besar, antara lain, anak korban dan keluarga akan merasa tertekan, lebih-lebih pada kasus kekerasan seksual. “Dari beberapa kasus seksual, bahkan  anak korban terusir dari kampungnya, karena warga mengganggap pelaku adalah orang terpandang,” jelasnya. Selain itu, sambungnya, anak korban atau saksi berpotensi mendapat ancaman dan intimidasi dari pelaku. Ini kemudian menjadi salah satu penyebab anak saksi memutuskan untuk tak mau bersaksi. “Beberapa kasus, anak keluarga korban memutuskan untuk berdamai, padahal tindak pidana bisa tetap diproses, meski sudah berdamai,” tegas dia. Lebih jauh, tambah Retno, dampak pemberitaan bagi anak pelaku yang identitasnya dibuka oleh pers juga sangat besar. Si anak, bebernya, akan terus memikul stigma negatif seumur hidupnya. Sebab, media tersebut akan bisa terus diakses lewat online atau media sosial. “Saat anak keluar dari Lapas pun, punya potensi untuk ditolak masyarakat,” jelasnya. Bahkan, anak pelaku berpotensi sulit mengembangkan diri dan mencarei pekerjaan, dikarenakan identitasnya sudah tersebar luas. “Sejumlah kasus, ada anak sampai dikeluarkan dari sekolah dan tidak diterima di sekolah manapun,” tambahnya. Ia menerangkan, Dewan Pers telah mengatur pelanggaran atas hak privasi dalam pasal 2 Kode Etik Jurnalistik. “Pasal ini menyebut bahwa dalam melakukan kerjanya, wartawan harus menempuh cara profesional. Salah satu tafsir profesional ialah menghormati hak privasi,” ucapnya. Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yadi Hendriana mendukung masalah ini. Kata dia, dalam perspektif media, pers mau jadi perusak ataukah edukator. Artinya bila ingin membuat sebuah karya, harus dilihat dulu sasaran pembaca dan dampaknya. “Hal ini tidak ada kaitannya dengan independen. Sebab produk jurnalistik itu haruslah untuk kebaikan publik. Jangan salah memandang kebebasan pers,” ungkapnya. Ia menuturkan, dalam penayangan berita mestu pula punya tingkat kepedulian yang tinggi. Biarpun berita itu ekslusif. Biarpun sudah memenuhi kaidah jurnalistik. “Prilaku yang dibangun adalah, baik atau tidak berita itu untuk publik,” tandasnya. Sementara itu, Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo menjelaskan, UU SPPA tidak menyasar wartawan. Berdasarkan UU Pers, wartawan itu bekerja dilindungi hukum. “Sehingga, bila kemudian wartawan dianggap melanggar hukum, pertanyaannya, apakah bisa dijerat dengan UU lain (selain UU Pers) maka jawabannya tidak bisa. Karena sudah ada MoU dengan kepolisian,” jelasnya. Pada kasus ini, Dewan pers yang berhak menilai. Dalam artian, melihat apakah pelanggaran pidana atau etik. Umumnya etik, jadi diselesaikan di Dewan Pers. Dia menerangkan, pada kasus-kasus bila polisi menerima laporan terkait pers atau wartawan, maka polisi tidak bisa memproses dulu. Harus minta keterangan Dewan Pers. “Kalau Dewan Pers mengatakan ini kasus pers, maka akan diserahkan ke Dewan Pers,” pungkasnya. (jun)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X