Senin, 22 Desember 2025

8 Puisi Kenangan dari Sapardi Djoko Damono

- Minggu, 19 Juli 2020 | 18:10 WIB
  RADARDEPOK.COM - Sastrawan Sapardi Djoko Damono meninggal dunia, Minggu, 19 Juli 2020 di usia 80 tahun. Media sosial diramaikan dengan ucapan duka untuk sang sastrawan. Bahkan namanya masuk trending di Twitter. Karya-karya indahnya membanjiri linimasa untuk mengenang sosoknya. Sepanjang kariernya, Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai pujangga yang pandai menuliskan hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan. Sastrawan yang lahir di Solo pada 20 Maret 1940 itu bisa dibilang sebagai panutan di bidang literasi. Ia berhasil meraih banyak penghargaan, bahkan sampai mancanegara. Karyanya dinikmati di segala kalangan. Ada buku puisi, esai hingga fiksi. Semua karya Sapardi Djoko Damono akan tetap abadi dan memiliki tempat tersendiri di hati para penggemar.   1. Yang Fana Adalah Waktu Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa “Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu Kita abadi   2. Aku Ingin Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada   3. Pada Suatu Hari Nanti Pada suatu hari nanti Jasadku tak akan ada lagi Tapi dalam bait-bait sajak ini Kau tak akan kurelakan sendiri Pada suatu hari nanti Suaraku tak terdengar lagi Tapi di antara larik-larik sajak ini Kau akan tetap kusiasati Pada suatu hari nanti Impianku pun tak dikenal lagi Namun di sela-sela huruf sajak ini Kau tak akan letih-letihnya kucari   4. Hatiku Selembar Daun Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput Nanti dulu biarkan aku sejenak terbaring di sini ada yang masih ingin kupandang yang selama ini senantiasa luput Sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi   5. Hujan Bulan Juni Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu   6. Kuhentikan Hujan Kuhentikan hujan Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan Ada yang berdenyut dalam diriku Menembus tanah basah Dan cahaya matahari Tak bisa kutolak Matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga.   7. Ruang Tunggu Ada yang terasa sakit di pusat perutnya Ia pun pergi ke dokter belum ada seorang pun di ruang tunggu Beberapa bangku panjang yang kosong tak juga mengundangnya duduk Ia pun mondar-mandir saja menunggu dokter memanggilnya Namun mendadak seperti didengarnya suara yang sangat lirih dari kamar periksa Ada yang sedang menyanyikan beberapa ayat kitab suci yang sudah sangat dikenalnya Tapi ia seperti takut mengikutinya seperti sudah lupa yang mana mungkin karena ia masih ingin sembuh dari sakitnya   8. Hanya Hanya suara burung yang kau dengar dan tak pernah kaulihat burung itu tapi tahu burung itu ada di sana Hanya desir angin yang kaurasa dan tak pernah kaulihat angin itu tapi percaya angin itu di sekitarmu Hanya doaku yang bergetar malam ini dan tak pernah kaulihat siapa aku tapi yakin aku ada dalam dirimu   Editor : Pebri Mulya

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X