SERUT BAMBU : Alvin Ramadhan sedang menyerut batang bambu untuk dijadikan kerangka layangan. FOTO : INDRA SIREGAR/RADAR DEPOKPandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada kesehatan, yang tak kalah mengerikan virus dari Wuhan Tiongkok ini, juga menggerogoti sendi perekonomian masyarakat. Di tengah kesulitan ekonomi ini, masyarakat dituntut kreatif dan bisa memanfaatkan peluang. Seperti dilakukan seorang pemuda asal Cilodong ini.Laporan : Indra Abertnego SiregarRADARDEPOK.COM - Siang itu Kamis (05/11), Alvin Ramadhan (27) pemuda asal Kampung Bendungan RT003/001 Kelurahan Cilodong, Kecamatan Cilodong, fokus menyerut sebatang bambu dipangku di atas paha kanannya.
Dengan telaten pria yang akrab disapa Ucil ini, menyerut sebatang bambu yang baru dipotong menjadi tipis setipis lidi untuk dijadikan kerangka layangan.
Ucil merupakan seorang pengrajin layangan, itu terlihat dari puluhan layangan besar yang tergantung di atap teras rumahnya bahkan hingga di dalam rumahnya.
Layangan buatan Ucil ini, sangat menarik, karena ukurannya besar dan juga gambar yang tertera di kertas layangannya unik dan menarik. Ucil menghentikan kegiatan tersebut sementara sambil membakar sebatang rokok Magnum Blue. Dia mengambil waktu istirahat agar bisa berbincang–bincang sejenak.
Sambil duduk di sebuah kursi yang dibuat dari bahan toples cat bekas yang dilapisi dengan busa bekas sofa, dia mengatakan jika kegiatan menekuni kerajinan layangan ini mulai aktif dilakukannya sejak pertengahan Maret lalu, tepatnya saat penerapan pertama Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) di Depok.
“Sebelumnya sih udah pernah bikin dulu, Cuma buat hobi aja bukan buat dijual seperti saat ini,” kata Ucil.
Sebelum menekuni kerajinan layangan, dia merupakan seorang montir amatir. Dia membuka jasa service motor, khususnya motor balap liar.
SERUT BAMBU : Alvin Ramadhan sedang menyerut batang bambu untuk dijadikan kerangka layangan. FOTO : INDRA SIREGAR/RADAR DEPOK
“Saya buka bengkel kurang lebih dua tahun, tapi tutup gara–gara di Cilodong udah banyak bengkel gede yang buka. Kalah saing, apalagi saya belajar montir otodidak,” tuturnya.
Dia mengaku, pendidikannya tidak sampai SMA, lantaran kedua orang tuanya meninggal saat dia masih SD. Sedangkan biaya hidupnya ditopang satu orang abangnya yang bekerja di minimarket.
“Saya gak mau nyusahin abang, karena sudah dibiayai makan saja sudah bersyukur. Maka itu dari SD saya udah berusaha cari uang sendiri,” terangnya. (*)Editor : Pebri Mulya