RADARDEPOK.COM, DEPOK - Kericuhan sempat terjadi saat pelaksanaan acara persidangan yang diikuti Syahril Parlindungan Marbun (SPM), terpidana kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, yang kembali menjalani persidangan atas laporan baru yang dilayangkan Azas Tigor Nainggolan selaku penasehat hukum korban pelecehan baru yang diduga dilakukan SPM sebelum dia divonis bersalah atas kasus yang sama.
Dalam persidangan tertutup dengan agenda pembacaan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) ini, penasehat hukum SPM Violen sempat adu mulut dengan pengacara korban Azas Nainggolan di luar ruang sidang.
Penasehat Hukum SPM, Violen mengatakan jika ada laporan baru yang dituduhkan pada klienya yang kini sedang menjalani masa hukuman dengan kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur, akan tetapi menurut mereka laporan baru diajukan beberapa bulan pasca klienya sudah dijatuhi hukuman berkekuatan hukum tetap (Inkracht).
"Korban baru ini kan laporannya, itu dilaporkan tidak jauh sebulan atau dua bulan. Saat imi pelapornya sudah meninggal," kata Violen, Selasa (25/01).
Dia menuding ada permainan dalam kasus yang dialami kliennya ini. Pasalnya klienya sudah mendaptkan vonis hukuman 15 tahun dan Inkracht kemudian datang lagi laporan baru dari Azas Nainggolan selaku penasehat hukum korban
"Dilaporkan lagi, ini gak berimbang, dia (SPM) didalam juga manusia, dia sudah menjalani hukumannya," tururnya.
Selain itu, yang membuat Violen kesal karena permohonan Praperadilan yang mereka ajukan tidak ditindaklanjuti, malahan pradilan pidana dengan pembacaan dakwaan yang dimajukan Pengadilan Negeri (PN) Depok.
"Praperadilan kami dinyatakan gugur nanti jadinya, makanya sidang dakwaan dimajukan prapradilan tidak jadi," katanya.
Dia mengungkapkan, sebenarnya mereka tidak menyangkal jika kliennya bersalah. Akan tetapi mereka hanya memperjuangkan hak kliennya untuk mengajukan praperadilan dapat berjalan.
"Untuk Praperadilan yang harusnya sidangnya pagi, terus malah sidang pidananya yang berjalan pagi ini. Ini jadi tanda tanya besar dong. Ini kan ada permainan, titipan. Kita sudah ajukan praperadilan sejak 3 Januari, saya yang paling pertama daftar, tapi ternyata yang berjalan malah sidang pidananya," tuturnya.
Dia menyebutkan dari pihak kuasa hukum kejaksaan dan kepolisian tidak ada yang datang untuk menghadiri sidang praperadilan yang mereka daftarkan. Hal ini juga membuat pihaknya merasa jengkel.
"Jadi kelihatan dong permainan untuk menggugurkan praperadilan," bebernya.
Sementara itu, Kasi Intel Kejari Depok, Andi Rio Ragmatu mengatakan terdakwa atas nama Syahril Parlindungan Martinus Marbun sudah ditangani kejaksaan perkaranya pada 17 Januari 2022, dan pada 17 Januari itu penetapan sidangnya oleh PN Depok.
"Pada sidang pertama tersebut, majelis hakim telah dibuka persidangannya dan dilakukan pemeriksaan identitas terdakwa, tetapi setelah pemeriksaan identitas, karena penasehat hukumnya tidak hadir, kemudian sidang ditunda dengan pertimbangan ancaman pidananya tinggi," ucap Andi.
Dia menejelaskan pada sidang dakwaan ini, jaksa penuntut umum (JPU) memberikan dakwaan primair Pasal 82 Ayat 2 UU 35 2014 Jo UU 17 Tahun 2016, sedangkan subsidairnya Pasal 82 Ayat 1 Jo 76 E UU 35 2014 Jo UU 17 Tahun 2016.
"Untuk persidangannya, karena sudah membacakan dakwaan, penasehat hukumnya mempunyai hak untuk mengajukan keberatan terhadap surat dakwaan," terangnya.
Dia menyebutkan, dalam persidangan tersebut penasehat hukum terdakwa meminta waktu dua minggu untuk agenda sidang selanjutnya.
"Jadi dia 7 Februari mendatang dengan agenda eksepsi atas surat dakwaan penuntut umum," sebutnya.
Andi menguraikan, unsur tindak pidana yang dilakukan terdakwa adalah melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa melakukan, atau tipu muslihat melakukan serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan, atau membiarkan perbuatan cabul dalam hal tindak pidana tersebut dilakulan oleh orangtua, wali pengasuh, pendidik atau tenaga pendidikan.
"Itu uraian dari dakwaan pasal yang primairnya," tegasnya.
Dia menambahkan, aksi terdakwa diketahui terjadi pada Minggu tanggal 29 Desember 2019 sekira pukul 11:00 WIB, bertempat di gereja Santo Herkulanus, Depok atau setidak tidaknya masih termasuk dalam daerah hukum melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa melakukan tipu muslihat melakukan serangkaian kebohongan membujuk anak melakukan membiarkan melakukan perbuatan cabul dalam arti tindak pidana tersebut dilakulan orang tua, wali, pengasuh, pendidik atau tenaga pendidikan.
"Pelapor berdasarkan Undang - Undang perlindungan anak itu ibu korban, pengasuh yang bertanggung jawab, orangtua, didampingi orangtua. Akan tetapi untuk. Pelapor asli tidak bisa kami buka," bebernya.
Selain itu, lanjut Andi, JPU akan mempertimbangkan status pelaku apakah dapat dikategorikan sebagai residivis karena yang bersangkutan sudah dihukum. Kalau unsur residivis masuk, maka ini akan memberatkan hukuman terdakwa dalam tuntutan JPU nantinya.
"Kalau nanti kita buktikan terdakwa sebagai residivis, ini akan memberatkan hukumannya," imbuhnya.
Ketika ditanya mengenai praperadilan yang diajukan kuasa hukum terdakwa, Amdi menjelasakan jika terdakwa mengajukan praperadilan pada saat persidangan pidananya sudah berjalan. Sehingga persidangan sudah dinyatakan masuk dalam pokok perkara, dengan demikian permohonan praperadilan akan gugur dengan sendirinya.
"Berdasarkan informasi dari Jaksa, praperadilan ini kan masuk pada saat dia masuk. Kalau berdasarkan ketentuannya, permohonan praperadilan akan gugur ketika sudah masuk pokok acara persidangan," jelasnya.
Terpisah, Penasehat Hukum Korban, Azas Nainggolan mengungkapan kasus ini merupakan laporan lanjutan dari pihaknya, setelah berhasil menjebloskan terdakwa ke penjara denga hukuman pidana penjara 15 tahun.
Awalnya kasus kejahatan terdakea terbongkar saat dia dapat laporan dari salah satu korban sekitar bulan Mei 2020, waktu itu sudah mau Lebaran 25 Mei 2020.
"Saya dapat laporan tanggal 22 Mei 2020, terus saya bikin tim bersama pengurus gereja untuk menginvestigasi kasus ini karena saya bilang kalau kasus kekerasan seksual terhadap anak itu korbannya biasanya banyak dan itu udh berjalan panjang. Akhirnya diinvestigasi dapat memang beberapa korban lain oleh teman teman tim investigasi dari gereja. Akhirnya ada dua korban yg melapor ke Polres Depok. Itu divisum di Polres, berkas sidang akhirnya September putus Januari 2021 tanggal 6 hukumannya 15 tahun penjara, denda 200 juta dan restitusi 20 juta, restitusi untuk korban," jelasnya.
Akan tapi, lanjut Azas, di tengah perjalanan berkas pertama berjalan ada korban lain minta didampingi untuk melapor.
"Lapor lah, barulah kemarin 28 Desember 2021 berkasnya P21 dari polisi depok. dia sih udah beberapa kali mengalami kejadian. Sekitar ada tiga kali tapi yang dilaporkan kejadian 2019 di bulan Desember," bebernya.
Menurut Azas, kasus yang baru dilaporkan ini berbeda dengan kasus sebelumnya yang sudah ada putusan Inkracht.
"Beda, yang kemarin itu beda. Ini karena korbannya beda, Pelakunya sama," ucapnya.
Dia menyebutkan pada kasus pertama ada dua korban. Ini korban ketiga. Tapi sebenarnya di berkas pertama itu ada tig korban hanta saja yang satu sudah kelamaan, sudah 12 tahun yang lalu jadi gak bisa terdeteksi polisi. Sehingga korban tiga ini hanya dijadikan saksi dalam persidangan sebelumnya.
"Sudah vonis 15 tahun penjara ditengah masa hukuman dia didakwa lagi bisa. Karena berkasnya beda, kasus berbeda, korbannya beda, walaupun pelakunya sama. Dalam hukum pidana itu boleh," tutupnya. (rd/dra)
Jurnalis : Indra Abertnego Siregar
Editor : Pebri Mulya
https://youtu.be/52ZEhflk2vE