Situ merupakan salah satu tempat resapan air, bisa juga menjadi tempat bersantai dan bercengkrama bersama rekan disela-sela penatnya seseorang menjalani hari yang berat. Seperti Situ Tujuh Muara bojongsari yang saat ini menjadi salah satu destinasi wisata bagi khalayak umum.
Laporan : Aldy Rama
RADARDEPOK.COM, Situ Tujuh Muara bojongsari memiliki cerita tersendiri dalam sejarahnyanya dalam masa penjajahan Belanda. Hal ini dituturkan Juru Situ Tujuh Muara bojongsari, Yono ketika ditemui awak depok">radar depok di Warjok, RT1/14, Kelurahan/Kecamatan bojongsari Kota Depok.
Pertemuan Yono dengan awak depok">radar depok terbilang mendadak, tanpa perjanjian. Instruksi untuk bertemu dengan Yono dilontarkan Ketua RW14 bojongsari, Daud Sulaiman, yang kala itu maksud dan tujuan awak depok">radar depok ingin membahas seputar sejarah Situ Tujuh Muara bojongsari.
Pertemuan yang hangat dengan dua cangkir kopi hitam yang menemani kedua pihak di tempat para pengurus Situ Tujuh Muara berkumpul, dengan leluasa Yono menceritakan bagaimana situ yang seluas 27,24 hektar tersebut bisa terbentuk, ditemani pemandangan situ yang nampak begitu asri di depan mata, serta lapangan tepok bulu di lokasi tempat bercengkrama. Yono bercerita dengan detail berdasarkan informasi secara turun temurun dari orang tua serta pendahulu-pendahulu lainnya.
Putra asli bojongsari tersebut mengatakan, lokasi yang sekarang menjadi destinasi wisata tersebut merupakan rawa-rawa yang ditengahnya tedapat kali yang disebut warga sekitar Kali Putat, nama tersebut diambil dari kata Ciputat, di sekitar kali dan rawa tersebut terdapat perkebunan karet yang mengelilingi.
“Di sini dulunya terdapat kali yang disebut warga sekitar Kali Putat, terletak di tengah-tengah lokasi situ saat ini, di pinggirannya terdapat rawa-rawa dan perkebunan karet yang mengelilingi lokasi. Karena kala itu masih dijajah Belanda, lahan rawa yang berada di tepi Kali Putat tersebut di croscek oleh mereka,” ungkapnya seraya menyeruput kopi hangatnya.
Setelah pengecekan usai dilakukan pada lahan rawa yang berada di tepi Kali Putat tersebut, ditemukanlah mata air yang begitu melimpah. Karena mata air yang ditemukan begitu melimpah, Belanda memerintahkan kepada pribumi untuk membuat tanggul di bagian utara.
Perintah tersebut dilontarkan demi kepentingan bersama saat itu. Untuk pertanian, irigasi dan wadah penampungan air, yang kemudian aliran air dari hulu ke hilir yang sebelumnya masuk ke Kali Putat, kini mengalir ke lokasi dimana pribumi membangun tanggul di bagian utara pada bagian yang sudah dibangun.
“Mereka (Belanda) memperhatikan saluran air demi kepentingan bersama, memerintahkan pribumi untuk membangun tanggul di bagian utara. Setelah semua rampung, air yang mengisi perairan Situ Tujuh Muara bukan hanya air hujan, tetapi juga irigasi, air yang datang dari hulu, pegunungan, sumber-sumber sungai yang ada di wilayah hulu ke hilir. Termasuk aliran dari hulu yang masuk ke Kali Putat dulu yang sekarang beralih ke Situ Tujuh Muara sampai saat ini,” ucap pria kelahiran 1974 tersebut. (Bersambung)
Editor : Junior Williandro