RADARDEPOK.COM – Penggunaan gas elpiji 3 kilogram (kg) dan BBM bersubsidi kerap tidak tepat sasaran. Artinya tak sedikit orang kaya yang menggunakannya, padahal semua itu diperuntukan bagi masyarakat kurang mampu.
Hal ini membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan orang kaya, untuk menggunakan si melon (elpiji 3 kilogram). Begitu juga dengan BBM bersubsidi. Hal ini mengacu pada berbagai pertimbangan hukum MUI.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Miftahul Huda mengatakan, adapun beberapa pertimbangan hukum serta acuan dasar MUI tersebut, yakni melanggar prinsip keadilan. Orang kaya yang mengambil hak orang miskin dalam subsidi berarti melanggar prinsip keadilan.
“Kemudian, subsidi adalah amanah pemerintah untuk rakyat yang membutuhkan. Artinya, subsidi merupakan amanah yang diberikan pemerintah kepada rakyat yang membutuhkan. Menggunakannya tanpa hak sama dengan melakukan penyelewengan atau khianat,” beber Miftahul Huda.
Selanjutnya, sambung Miftahul Huda, penggunaan gas dan BBM subsidi adalah tindakan ghasab, yakni tindakan mengambil hak orang lain tanpa izin. Dalam fikih Islam, tindakan ini tergolong dosa besar. Artinya orang kaya yang memakai subsidi sama saja dengan merampas hak fakir miskin.
Baca Juga: Depok Perdana Terima Program MBG, Transformasi Gizi Anak Bangsa
“Haram hukumnya orang kaya yang menggunakan barang yang diperuntukan bagi orang miskin. Orang kaya tidak berhak menggunakan BBM dan gas bersubsidi," ujar Miftahul Huda.
BBM bersubsidi dan elpiji 3 kilogram, sambungnya, hanya diperuntukkan bagi rumah tangga miskin, usaha mikro, nelayan, dan petani miskin. Semua itu sudah diatur distribusinya, termasuk sanksi serta hukuman bagi mereka yang menyalahgunakannya.
“Dalam hukum Islam, penggunaan BBM dan gas bersubsidi oleh orang kaya yang tidak berhak adalah haram," tegasnya.
Menanggapi hal ini, Sekretaris MUI Kota Depok, Kostia Permana mengatakan, apa yang disampaikan Komisi Fatwa MUI belum bisa menjadi Fatwa MUI, apabila belum melewati tahap persidangan Fatwa MUI.
Baca Juga: Mengukur Manfaat Asta Cita Prabowo-Gibran Bagi Masyarakat Kota Depok
“Pernyataan yang disampaikan Komisi Fatwa MUI itu, belum bisa dikatakan sebagai Fatwa MUI karena yang saya temukan ini hanya pernyataannya saja, tetapi belum ada narasi fatwanya. Jadi belum bisa dikatakan sebagai Fatwa MUI,” terang Kostia Permana, Kamis (13/2).
Tetapi menurutnya, rujukan dari pertimbangan serta berbagai acuan dasar tersebut sudah benar. Kemungkinannya, pertimbangan hukum serta acuan dasar itu pasti diperdebatkan pada sidang Fatwa MUI.
“Kalau disidangkan itu sudah pasti iya. Apalagi ini sudah ramai kan? Informasi ini sudah menyebar kemana-mana. Tetapi sementara ini saya belum bisa berkomentar banyak soal ini, karena belum keluar narasi fatwanya,” tandas Kostia Permana. ***