Illustrasi Gizi BurukDEPOK-Selain penyakit difteri yang umumnya menyerang anak-anak dan balita. Ternyata, di Kota Depok yang kini menjadi kota milenia masih ditemukan balita yang terserang gizi buruk. Kemarin, berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Depok, sedikitnya 80 balita menderita gizi buruk tersebar di 11 kecamatan.
Kepala Dinkes Depok, Noerzamanti Lies Karmawati menyebutkan, 80 balita menderita gizi buruk tersebar di 11 kecamatan. Jumlah penderita gizi buru pada balita jika dibandikan 13 tahun lalu menurun.
"Jumlah ini menurun drastis dibandingkan 13 tahun lalu, dimana penderitanya mencapai 500 kasus," kata Lies kepada Harian Radar Depok, kemarin.
Penurunan itu tentu, kata dia, Pemkot Depok melalui Dinkes terus melakukan upaya untuk menakan angka ini. Kesuksesan menekan angka gizi buruk harus dilakukan bersama. Baik dari dinas, kader hingga masyarakat luas. "Targetnya tiap tahun turun 50 persen dari total penderita," terangnya.
Ada pun langkah yang dilakukan dengan memberikan penangangan pada anak gizi buruk, dengan cara pemberian makanan tambahan. Penambahan makanan tambahan ini diberikan selama 90 hari. Lalu dilakukan evaluasi kondisi status gizinya. "Kalau tidak ada perbaikan maka diberikan lagi makanan tambahannya," beber dia.
Lies menjelaskan, persoalan tumbuh kembang anak bisa dipecah menjadi dua. Pertama, dilihat dari perbandingan umur dan berat badan (BB). Dari perbandingan ini akan muncul empat status. Yaitu gizi lebih, gizi baik, gizi kurang dan gizi sangat kurang. "Jadi yang gizi buruk itu masuknya dalam status gizi sangat kurang. Saat ini masih ada tapi tidak banyak," paparnya.
Kedua, sambung Lies, persoalan tumbuh kembang yang dilihat dari umur dan tinggi badan (TB). Dari perbandingan ini dapat terlihat dua status. Yaitu, pendek (stunting) dan sangat pendek.
"Jumlahnya yang pendek (stunting) ada 8.000 anak. Yang sangat pendek 800 kasus atau 10 persen dari stunting," katanya.
Untuk penanganan dua kasus itu katanya terdapat sedikit perbedaan namun tidak signifikan. Penanganan kasus gizi buruk kata Lies, awalnya ditangani dengan perbaikan gizi atau pemberian makanan tambahan agar gizi anak bisa tercukupi.
"Asupan yang diberikan harus bergizi, berimbang dan sehat. Unsurnya harus ada karbohidrat, protein, lemak dan mineral. Mineralnya sendiri bisa berasal dari sayuran dan buah," paparnya.
Sedangkan untuk penanganan kasus stunting utamanya dikedepankan soal edukasi pada calon ibu. Karena persoalan stunting berbeda dengan gizi buruk. Pada kasus gizi buruk, utamanya disebabkan kekurangan asupan gizi yang seimbang. Namun, pada kasus stunting disebabkan karena ketidaktahuan calon ibu saat hamil.
"Stunting itu terjadi bukan karena kesalahan pemberian makanan tapi prosesnya terjadi saat dalam kandungan. Oleh karenanya kita memberikan edukasi untuk pencegahan sehingga tidak terjadi lagi pada kehamilan berikutnya," tandasnya.
Pihaknya berharap kasus gizi buruk bisa sampai titik nol, sehingga saat ini walaupun angkanya dibawah 100 kasus namun tetap dilakukan upaya penekanan. Pasalnya, Pemkot Depok menginginkan tidak ada kasus gizi buruk. "Terakhir stuck di angka 80. Ini yang sedang kami analisa apa penyebabnya," paparnya.
Dari kesimpulan sementara, diketahui bahwa masih adanya kasus gizi buruk karena pengaruh penyakit penyerta. Dicontohkan, balita yang menderita gizi buruk diketahui karena balita itu menderita penyakit penyerta misalnya hydrocepalus atau gangguan jantung. "Oleh karenanya kita memberikan edukasi pada ibu-ibu supaya memberikan asupan gizi yang sehat dan seimbang," katanya.
Peranan kader kesehatan di tiap RW kata Lies memiliki peranan penting untuk menekan angka gizi buruk dan stunting. Melalui perantara mereka juga maka edukasi yang diberikan oleh Pemkot Depok bisa disebarkan lebih luas.
"Kader kesehatan kita ada 8.000 orang. Depok memiliki 1.000 RW dan tiap RW memiliki minimal satu Posyandu. Mereka yang membantu kami dalam hal kesehatan," tegasnya.
Terpisah, Wakil Ketua Komisi D DPRD Depok, Sahat Farida Berlian, menyayangkan balita di Kota Depok terkena gizi buruk.
“Iya disayangkan sekali jumlahnya 80 balita menderita gizi buruk. Jumlah itu cukup besar, satu saja menjadi catatan bagi kami,” kata Sahat.
Menurut dia, kasus gizi ini menjadi permasalahan sosial. Bahkan ada dua indikator pertama masalah ekonomi dan idukasi kepada orangtua balita. ”Kami harap jumlah penderita balita gizi buruk bisa menurun. Kalau bisa jangan sampai ada penderita gizi buruk,” tutup Sahat.(irw)