INDRA SIREGAR / RADAR DEPOK SAWAFOTO : Ady Supratikto berpose di dekat helicopter milik perusahaan Total di Balikpapan.
Setelah lulus kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM) Jogja pada tahun 1988 silam. Ady Supratikto berangkat menuju Jakarta untuk memulai karirnya sebagagai karyawan, di sebuah perusahan perminyakan asal Prancis bernama Total.
LAPORAN : INDRA ABERTNEGO SIREGAR
Di dalam ruangan rumah toko (Ruko) Gobisa, kembali ditemui Ady Supratikto, yang masih sibuk memasukan barang dagangan ke rak yang berjejer rapih di ruangnan tersebut. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, semangatnya kelewat luar biasa dalam meningkatkan perekonomian warga sekitarnya dan melakukan kegiatan sosial.
Sambil sejenak beristirahat di kursinya, Haji Ady -sapaan akrabnya- mengatakan, setelah bekerja di Jakarta, dia dikirim oleh perusahaan tempatnya bekerja untuk pindah tugas ke Balikpapan.
Di sana dirinya menghabiskan cukup lama waktunya untuk bekerja dan mengumpulkan pundi–pundi rejeki. Seiring berjalanya waktu, dia semakin mapan dalam karir maupun keuangan. Suatu ketika dia teringat kembali akan cita-citanya, hingga akhirnya dia mengajak beberapa orang teman sekantornya untuk membantunya mewujudkannya.
“Saya kembali bersemangat untuk mewujudkan cita–cita saya. Saya ajak teman saya. Kata saya, ayo kita buat sebuah lembaga pendidikan yang bernafaskan islam di tempat ini,” ucapnya riang menceritakan kisahnya.
Setelah temanya setuju dengan gagasanya tersebut, akhirnya mereka mencoba mencari sebuah masjid yang ada TPA untuk dibuatkan tempat belajar. Dan di dapatilah sebuah masjid di kisaran Jalan Merdeka Balikpapan. “Tahun 1996 cita–cita saya terwujud dengan berdirinya SDIT Istiqomah,” sambungnya.
Setelah berdiri, dia mengatakan kepada warga sekitar masjid untuk menyekolahkan anaknya di SDIT tersebut. Karena dia menjamin kualitas pendidikan di SDIT tersebut akan sama bagusnya seperti sekolah–sekolah swasta di Jogja tempat dia kuliah.
“Saya bilang sama mereka, kalau anak mu sekola di sini, ngajinya pinter, ilmu umumnya pinter, dan bahasa inggrisnya juga pinter,” katanya lagi.
Setelah itu, setiap pulang atau istirahat bekerja, dirinya selalu mengajak teman–temanya yang merupakan warga negara asing, untuk membantunya mengajari bahasa Inggris di SDIT tersebut.
“Saya ajak teman bule saya buat ngajarin bahasa inggris di sana, kebetulan jarak dari tempat kerja saya ke SDIT hanya sekitar satu 1 kilometer lebih,” tuturnya.
Namun, setelah SDIT Istiqomah tersebut berjalan dan terus berkembang, dirinya memilih untuk meninggalkan yayasan tersebut kepada teman – temanya di sana. Karena dia merasa tugasnya sudah selesai.
“ Saya katakan pada pengurus di SDIT Istiqomah bahwa sekolah tersebut milik jemaah, bukan milik saya silahkan dijalankan untuk kemajuan umat,” ujarnya.
Setelah itu, dia pindah tugas kembali ke Jakarta pada tahun 1998. Setelah di Jakarta dia berharap membuat rumah sehat, dengan harapan orang yang sakit bisa langsung sembuh. Tentunya dengan pelayanan ramah dan senyum lembut dari pegawainya. Namun, mimpi tersebut masih terkendala di bidang financial hingga detik ini.
“Saya butuh Rp2 miliar tapi saya belum punya, saya cari sana sini orang maunya investor. Padahal mau saya ini menjadi kegiatan sosial bukan bisnis murni,” sambungnya lagi.
Akhirnya, dia memutuskan untuk menguburkan sementara mimpinya tersebut untuk membangun Rumah Sehat. Dan tak lama temanya datang untuk menawarkan bergabung di organisasi kemanusiaan Bulan Sabit Merah Indonesia. Merasa visi dan misi organisasi tersebut sesuai dengan mimpinya. Dia pun bergabung dan menjadi pengurus di bidang keuangan oraganisasi tersebut. Awal debut Bulan Sabit Merah Indonesia ketika Amerika mengebom Irak tahun 2003, dan di sana ada wartawan televisi swasta Indonesia yang ditahan otoritas setempat. Sehingga mereka menurunkan tim dari Indonesia untuk membantu dua wartawan tersebut.
“Kami mengirimkan empat orang dokter anggota kami dari anastesi, ahli bedah, ortopedi dan dokter umum. Namun kami butuh biaya dan saya himpun dana dengan membuat proposal. Akhirnya terkumpul Rp1 Miliar, dari dana itu juga dua wartawan dapat dibebaskan,” bebernya.
Bulan Sabit Merah pun semakin dikenal di tanah air dan mulai mengabdi di berbagai bidang kerelawananan. Salah satunya, bencana tsunami di Aceh tahun 2006 dan berbagai pristiwa bencana lainya.
“ Semenjak bergabung di Bulan Sabit Merah Indonesia saya gak pernah di rumah saat tahun baru, waktu itu setiap menjelang atau sesudah tahun baru pasti ada saja bencana,” ujarnya.
Dia mengatakan, semunya di jalani dengan ikhlas, dan yang paling memuaskan hatinya adalah ketika dirinya berhasil membuat sekolah islam yang baik di Jogja.
“ Tahun 2003 saya bersama delapan orang teman saya membuat Yayasan Jaringan Sekolah Islam Terpadu Indonesia (JSIT) dan di Jogja kini sudah banya berdiri sekolah islam yang hebat–hebat,” ucapnya sembari menyunggingkan senyum.
Namun setelah JSIT berkembang pesat, lagi–lagi dia memutuskan untuk hengkang karena merasa sudah puas dan harus membuat sesuatu yang baru, khususnya untuk tempat kediamanya di Kota Depok.(bersambung)