MENINJAU: Ketua DPRD Kota Depok, Hendrik Tangke Allo, melihat langsung kondisi lokasi Kampung 99 Pepohonan. Foto: Febrina/Radar DepokRADAR DEPOK.COM – Penyegelan Kampung 99 Pepohonan pada Juni 2016, hingga kini membuat pertanyaan dan terkesan ada indikasi adu domba. Karena ternyata saat ini manajemen Kampung 99 sudah mengurus izin ke Pemkot Depok.
Ketua DPRD Kota Depok, Hendrik Tangke Allo, menegaskan, jika memang pengelola sudah mengurus izin, maka segel yang masih terpasang harus dicopot.
“Kalau sudah urus izinnya, seharusnya dicopot dong segelnya,” kata Hendrik, di sela mengecek Kampung 99.
Hendrik menambahkan, seharusnya pemerintah jangan mengadu domba seperti ini, karena masyarakat di sekitar Kampung 99 hanya mengeluhkan bau yang kurang sedap.
Namun seiring berjalannya waktu, keluhan warga sudah dibenahi oleh pihak manajemen Kampung 99. Artinya, sudah ada solusi dalam memecahkan permasalahan yang pernah terjadi dengan masyarakat di lingkungan sekitar.
“Kalau bau sudah tidak mencolok, izin sedang diurus, apalagi yang dipermasalahkan,” katanya.
Pemilik Kampung 99, Yasser Arafat Suaidy, mengatakan, awalnya mereka hadir ke lokasi tahun 1989 untuk menetap guna membangun kehidupan baru, dengan mendirikan konsep hutan buatan pribadi di tengah Kota Depok.
Dengan nilai-nilai filosofi hidup rukun bersama berdampingan dengan alam dan warga sekitar.
Hanya dalam perjalanannya dan seiring keinginan warga sekitar sendiri yang merasakan manfaat dari keberadaan Kampung 99, konsep hutan buatan yang awalnya adalah milik pribadi berubah menjadi wisata edukasi dan telah mendapat dukungan dan persetujuan dari warga sekitar.
“Yang memberikan persetujuan dan tandatangannya ada 400 warga. 90 persen adalah warga asli pribumi dari dua kelurahan, yakni Meruyung dan Rangkapan Jaya, yang dari zaman kakek atau engkongnya memang tinggal di sini. Terutama dari RW01 dan RW02 Kelurahan Meruyung. Kampung 99 sudah dianggap sebagai asetnya warga Meruyung dan Rangkapan Jaya,” ujar Yasser.
Dijelaskannya, perihal adanya perubahan fungsi Kampung 99 sebagai obyek wisata edukasi, pihaknya mengakui sedang mengurus perizinan sesuai saran yang diarahkan oleh pemerintah kota dari dinas atau OPD terkait, dan prosesnya saat ini sedang menunggu tahapan siteplan.
Manajemen Kampung 99 juga menepis tuduhan warga yang menyebut bahwa Kampung 99 menjadi peternakan sapi dan kambing yang menyebabkan bau tidak sedap.
Yasser mengatakan, berdasarkan izin dan regulasi yang ada dari Dinas Pertanian dan Peternakan, bahwa dengan jumlah sapi di bawah 100 ekor dan kambing di bawah 200 ekor, cukup mendapatkan izin dari warga sekitar.
“Sapi yang ada di sini hanya 48 ekor, kambing 150 ekor dan hanya untuk kepentingan edukasi. Kalau peternakan sendiri kami sudah punya di Kali Suren Bogor dan memang khusus untuk peternakan, sementara disini (Kampung 99) murni untuk edukasi dan pelatihan saja,” tegas Yasser.
Legal Kampung 99, Bagas, menambahkan, untuk bangunan rumah yang telah ditempati sejak 1989 sudah ber-IMB. Tanah yang dimiliki pun sengaja tidak dipasangi pagar sehingga semua orang boleh akses masuk ke lokasi. Hal tersebut dilakukan dasarnya karena mereka sudah berkomitmen setiap harinya agar lokasi bisa ditanami tanaman keras.
Kampung 99 dikatakannya sudah membuat kesepakatan dengan pemerintah kota Bidang Lingkungan Hidup sejak dahulu untuk mempertahankan lokasi sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan disebut gamblang oleh Bagas, mulai izin awal dari warga sekitar.
Kemudian rekomendasi dari kelurahan dan kecamatan serta LPM mengetahui sudah mereka miliki. Termasuk IPR dan SPPL pun sudah keluar dan saat ini sedang naik proses ke siteplan.
“Memang prosesnya ternyata nggak mudah dan cukup panjang. Tapi kita terus sabar mengikuti saran dari OPD, khususnya BPMP2T,” kata Bagas. (ina)