Senin, 22 Desember 2025

Gile, 25 Disulap jadi 17 Nama

- Sabtu, 18 November 2017 | 10:15 WIB
ADE/RADAR DEPOK
ADUAN : Ombudsman RI (ORI) menerima tamu delegasi dari warga yang mempersoalkan konsinyasi proyek pembangunan Tol Cijago seksi II. Menurut mereka konsinyasi yang dilakukan oleh pemerintah tidak melalui musyawarah. DEPOK–Pembebasan lahan pembangunan Tol Cijago Seksi II, kembali menuai masalah. Kemarin, perwakilan pemilik tanah yang tergerus tol mengadu ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) terkait konsinyasi atau diurus pengadilan tanpa melalui musyawarah. Komisioner ORI, Andrianus Meilala mengatakan, pada Jumat (17/11) siang, sekitar pukul 14.00 WIB, enam perwakilan yang mengatasnamakan delegasi warga yang tanahnya terkena gusur pembangunan Tol Cijago menemuinya di Ruang Rapat Utama, Ombudsman RI, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. “Mereka mempersoalkan putusan penetapan konsinyasi terhadap tanah mereka, yang mestinya mendasarkan pada hasil musyawarah,” kata Andrianus kepada Harian Radar Depok, kemarin. Ia mengatakan, para delegasi tersebut mengaku mereka tidak pernah diajak musyawarah, apalagi menyepakati harga yang kemudian dikonsinyasikan. Delegasi juga menyesalkan pihak yang memasukkan sebagian nama pemilik tanah saja, sebagai penerima konsinyasi namun sebagian lain tidak. “Harusnya 25 pemilik tanah. Tapi yang tercantum dalam penetapan hanya 17 nama,” katanya. Terkait langkah yang akan dilakukan ORI, lanjut Andrianus, ia menganjurkan kepada para delegasi untuk membuat laporan baru. Agar ORI memiliki dasar untuk melakukan investigasi terhadap benar atau tidaknya hasil penetapan yang menjadi dasar penetapan pengadilan tersebut. “Berbarengan dengan itu, kami (ORI) juga mempersiapkan laporan lengkap kepada Presiden dan DPR tentang permasalahan Cijago, yang amat berlarut-larut tersebut,” tegas Andrianus. Sementara itu, saat dikonfirmasi Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Depok, Almaini mengatakan, konsinyasi dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam hal ini kewenangan Kementerian PUPR jika pemilik tanah tidak setuju dengan harga yang ditetapkan oleh Pejabat Penilai. “Kalau musyawarah mengenai besaran harga ganti rugi memang tidak diatur dalam Perpres 71 tahun 2012 sebagai peraturan pelaksana UU No.2 tahun 2012,” terang Almaini. Almaini melanjutkan, yang diatur adalah bentuk dan cara ganti rugi. Perihal masyarakat mengadu ke ORI, lanjut Almaini, merupakan hak warga teresebut, namun dirinya sudah menjelaskan hal tersebut kepada ORI “Harus kita hargai sebagai suatu upaya masyarakat menuntut keadilan,” pungkas Almaini. Sementara beberapa warga yang tidak tercantum tersebut, menurut Almaini, merupakan masyarakat yang menerima harga yang sudah ditentukan oleh tim Apraisal. (ade)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X