MENUAI POLEMIK : Warga menunjukkan obat Ranitidine jenis tablet yang masih bisa dibeli di toko obat, Selasa (8/10). Dinkes Kota Depok menyebutkan bahwa yang dilarang oleh BPOM adalah obat Ranitidine jenis sirup dan suntik atau injeksi. FOTO : AHMAD FACHRY/RADAR DEPOK
RADARDEPOK.COM, DEPOK – Diduga dapat memicu kanker, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) pusat menginstruksikan menarik peredaran jenis obat Ranitidin di seluruh toko obat, apotek, rumah sakit, dan puskesmas.
Meski begitu, Dinas Kesehatan Kota Depok mengklaim obat jenis Ranitidin yang dimaksud tidak ada di Gedung Farmasi Kota Depok.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok, Novarita mengaku, baru mendapat informasi soal obat jenis Ranitidin tidak layak edar dari pemberitaan di media. Lantas bergegas dirinya mengecek keberadaan obat tersebut di gudang obat-obatan yang berada di lingkungan Balaikota.
“Obat Ranitidin yang tidak diperbolehkan lagi oleh BPOM itu jenis sirup dan injeksi. Di gudang farmasi kami tidak ada obat itu, adanya bentuk tablet. Yang tablet diperbolehkan konsumsi oleh BPOM,” kata Novarita kepada Radar Depok, di Balaikota, Selasa (8/10).
Dia menjelaskan, seluruh Puskesmas di Kota Depok tidak ada yang menggunakan obat Ranitidin jenis sirup dan injeksi (cairan). Sebab mayoritas pengguna obat tersebut adalah usia dewasa dan kadar sakit lambung yang tidak terlalu parah.
“Kalau bentuknya cairan itu kan dimana-dimana memang bahaya ya, karena langsung diserap oleh tubuh. Pasien sakit lambung di Depok rata-rata pakainya tablet dan sembuh, jadi seluruh puskesmas kami menggunakan yang tablet,” jelas Novarita.
Sampai saat ini, lanjut Novarita, pihaknya belum mendapatkan surat resmi dari BPOM. Sehingga belum dapat melakukan sidak ke apotek, toko obat, dan klinik se-Kota Depok. Namun dia mengklaim bahwa di Depok tidak ada yang menggunakan Ranitidin jenis sirup dan injeksi.
“Nanti kalau sudah ada surat dari pusat, Dinkes lakukan sidak bersama BPOM tentunya yang memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pengawasan,” terang Novarita.
Sebagai informasi, BPOM pusat menarik peredaran obat yang mengandung senyawa Ranitidin dari pasaran. Pasalnya obat yang berfungsi mengobati tukak lambung itu diduga mengandung N-nitrosodimethylamine (NDMA) yang merupakan senyawa pemicu kanker yang bersifat karsinogenik. Hasil ini berdasarkan informas yang disampaikan oleh US Food and Drug Administration (US FDA) dan European Medicine Agency (EMA).
Berdasarkan pantauan Radar Depok di beberapa toko obat dan apotek, rata-rata menjual obat Ranitidin jenis tablet. Seperti Apotek Alam Sehat di Jalan Raya Nusantara, disana hanya menjual obat jenis tablet.
“Saya dengar sih informasi soal obat Ranitidin yang tidak boleh dikonsumsi lagi, tapi kata apoteker disini yang jenis tablet masih boleh. Jadi kami jual yang tablet,” beber pegawai yang enggan disebutkan namanya.
Selain di apotek itu, toko obat yang berlokasi di kawasan Beji juga masih menjual obat tukak lambung jenis tablet.
Heboh Picu Kanker
Setiap pasien yang memiliki masalah gangguan lambung seperti tukak lambung, tukak usus, atau maag, pasti sudah tak asing mendengar obat ranitidin. Obat tersebut biasa diresepkan dokter bagi pasien yang mengalami keluhan lambung seperti mual.
Biasanya obat tersebut dianjurkan untuk diminum pasien sebelum makan. Namun, kabar mengejutkan dimuat dalam laman Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang menarik obat ranitidin tersebut dari pasaran.
Klarifikasi tertulis BPOM per 4 Oktober 2019 menyebutkan alasan penarikan ranitidin dalam pasaran. Tindakan itu diambil menindaklanjuti informasi cemaran N-Nitrosodimethylamine (NDMA) pada produk obat yang mengandung ranitidin sebagaimana disampaikan oleh US Food and Drug Administration (US FDA) dan European Medicine Agency (EMA).
Ranitidin adalah obat yang digunakan untuk pengobatan gejala penyakit tukak lambung dan tukak usus. Badan POM telah memberikan persetujuan terhadap ranitidin sejak 1989 melalui kajian evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu. Ranitidin tersedia dalam bentuk tablet, sirup, dan injeksi.
Baru-baru ini, pada 13 September 2019, US FDA dan EMA mengeluarkan peringatan tentang adanya temuan cemaran NDMA dalam jumlah yang relatif kecil pada sampel produk yang mengandung bahan aktif ranitidin. NDMA merupakan turunan zat Nitrosamin yang dapat terbentuk secara alami.
Studi global memutuskan nilai ambang batas cemaran NDMA yang diperbolehkan adalah 96 ng/hari (acceptable daily intake), bersifat karsinogenik (memicu kanker) jika dikonsumsi di atas ambang batas secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama.
“Hal ini dijadikan dasar oleh Badan POM dalam mengawal keamanan obat yang beredar di Indonesia. Masyarakat diimbau agar tidak resah menanggapi pemberitaan yang ada, jika masyarakat memerlukan informasi lebih lanjut dapat menghubungi apoteker,” tegas Kepala Badan POM Penny K Lukito dalam keterangan tertulis, Selasa (8/10).
Dalam rangka kehati-hatian, Badan POM telah menerbitkan informasi awal untuk tenaga profesional kesehatan pada 17 September 2019 terkait keamanan produk ranitidin yang terkontaminasi NDMA. Badan POM saat ini sedang melakukan pengambilan dan pengujian beberapa sampel produk ranitidin. Hasil uji sebagian sampel mengandung cemaran NDMA dengan jumlah yang melebihi batas yang diperbolehkan. Pengujian dan kajian risiko akan dilanjutkan terhadap seluruh produk yang mengandung ranitidin.
Berdasarkan nilai ambang batas cemaran NDMA yang diperbolehkan, Badan POM memerintahkan kepada industri farmasi pemegang izin edar produk tersebut untuk melakukan penghentian produksi dan distribusi serta melakukan penarikan kembali (recall) seluruh bets produk dari peredaran. Badan POM akan terus memperbaharui informasi sesuai dengan data yang terbaru.
Sebagai bentuk tanggung jawab industri farmasi dalam menjamin mutu dan keamanan obat yang diproduksi dan diedarkan, industri farmasi diwajibkan untuk melakukan pengujian secara mandiri terhadap cemaran NDMA dan menarik secara sukarela apabila kandungan cemaran melebihi ambang batas yang diperbolehkan.
Dalam laman BPOM juga disebutkan jenis-jenis ranitidin yang ditarik dalam pasaran. Hasil uji yang terbukti pada ranitidin, ada kandungan NDMA yang melebihi ambang batas dan terdapat pada beberapa merek dagang. Umumnya terdapat pada ranitidin bentuk cairan injeksi dan sirup bukan tablet. Namun dokter diminta untuk tidak meresepkan seluruh obat ranitidin pada pasien.
“Masyarakat yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang terapi pengobatan yang sedang dijalani menggunakan ranitidin, untuk menghubungi dokter atau apoteker,” tegasnya. (jwp/rd)
Jurnalis : Nur Aprida Sani (IG : @apridasani)
Editor : Pebri Mulya
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Terkini
Minggu, 21 Desember 2025 | 20:01 WIB
Minggu, 21 Desember 2025 | 12:43 WIB
Sabtu, 20 Desember 2025 | 06:30 WIB
Sabtu, 20 Desember 2025 | 05:30 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 23:41 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 15:15 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 08:30 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 08:20 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 08:05 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 07:35 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 07:30 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 07:15 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 06:35 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 05:35 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 22:55 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 22:11 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 20:45 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 20:36 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 19:38 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 14:15 WIB