Senin, 22 Desember 2025

Memahami Indikator Kemusliman

- Jumat, 13 November 2020 | 09:00 WIB
  Oleh: K.H. A. Mahfudz Anwar Ketua MUI Kota Depok   KETIKA seseorang mengatakan saya beriman, maka saat itu belum jaminan dia bisa dinyatakan beriman yang sebenarnya. Karena Iman itu butuh pembuktian. Sama dengan orang mengatakan “saya cinta kamu”, maka cintanya itu perlu dibuktikan. Tidak cukup hanya dengan perkataan, tapi perlu pembuktian dalam perbuatan. Demikian juga Iman, harus dinyatakan dalam perbuatan. Ketika dia mengatakan saya beriman kepada Allah SWT, maka minimal dia mengerjakan shalat –karena shalat perintah Allah SWT.- ketika dia mengatakan beriman kepada Rasul, maka dia harus mengerjakan perintah Rasul dan menjauhi larangan Rasul. Ketika dia beriman kepada Kitab Suci Allah SWT, maka dia harus mau dan mampu membaca serta mengamalkan isinya. Jadi seseorang yang beriman pasti merealisasikan Iman itu ke dalam perilaku sehari-hari yang mencerminkan sebagai seorang mukmin. Dan seorang mukmin pasti tahu aturan ber-Islam. Taslim, tunduk dan patuh kepada Allah SWT dan Rasul-Nya sekaligus. Sebagai indikator kemuslimannya itu bisa dilihat dengan kasat mata. Bisa diindera. Sedangkan iman tidak bisa dilihat dengan mata, karena Iman adanya di dalam hati. Sementara Islam bisa diindera denga jelas. Misal ketika seseorang itu sedang melaksanakan shalat, maka ketahuan gerak-gerik tubuhnya, atau bacaan di lisannya. Demikian juga ketika dia bersedekah, maka sedekahnya itu bisa dilihat dan dapat dirasakan manfaatnya oleh si penerima sedekah tersebut. Walhasil tidak ada satu pun indikator kemusliman seseorang yang ternafikan oleh indera. Maka ketika Al-Qur’an menceritakan bahwa suatu saat ada orang Arab Baduwi yang mengatakan “saya ber iman”, lalu Allah SWT menegur. “Katakahlah Muhammad kepada mereka bahwa kamu belum beriman. Tapi katakanlah saya telah ber islam. (Q.S. Al-Hujurat : 14). Maka jelaslah bahwa tidak cukup hanya mengatakan Iman, tapi harus Islam. Oleh karena itu ketika kita diperintahkan agar bersaudara sesama mukmin dengan landasan bahwa semua orang mukmin adalah saudara. Maka tidak bisa tidak, kecuali melalui indikator. Misalnya, siapakah saudara kita fillah itu? Ya, tentu mereka yang terlihat berpakaian menutup aurat (baik laki maupun perempuan). Atau mereka yang sama-sama ketemu di masjid. Minimal setiap shalat Jum’at. Atau manakala dia orang kaya, kita sering melihat dia membayar zakat. Dan begitu seterusnya. Jadi kita akan mengetahui siapa-siapa saudara kita yang sebenarnya. Yaitu orang-orang yang benar-benar menjalankan ajaran Islam dengan konsekwen, tidak hanya dengan badannya saja, tapi juga dengan jiwa, raga dan hartanya. Kesemua itu dilakukan dengan penuh keyakinan. Tidak ragu sedikitpun tentang keimanannya itu. Karena keimanan mereka sudah terinternalisasi dalam dirinya, maka Iman dan Islam melekat jadi satu kesatuan. Maka bisa dikatakan antara Iman dan Islam tidak bisa dipisahkan.   Jadi konsep agama dan kepercayaan itu kalau dalam bahasa Agama adalah Iman dan Islam. Beragama adalah menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-larangan-Nya yang didasari oleh Iman yang kuat. Jadi bukan terjadi pemisahan, Agama sendiri dan kepercayaan sendiri. Untuk itulah perlunya pemahaman yang benar tentang konsep Iman dalam Islam. Sehingga tidak terjadi pengkotakan –dikotomis- antara Iman dan Islam. Antara keyakinan dan realisasi faktual. Maka di saat itulah yang disebut kaum muslimin adalah mereka yang menjalankan syari’at Islam dengan benar. Meneladani perilaku Rasulullah SAW. lahir batin. Batinnya tenang dalam Imannya. Lahirnya rajin menjalankan ibadah kepada Tuhannya. Ibadah itu adalah pengabdian tanpa batas. Mengabdikan diri (menghambakan diri) kepada Allah SWT tanpa syarat. Sehingga nafasnya pun berbau harum. Harum mewangi dalam perkataan yang keluar dari tenggorokan dan dari hati sanubari yang paling dalam. Maka tiada kata yang keluar dari lisannya, melainkan ucapan yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi pendengarnya. Dan sikapnya pun selalu well come (marhaban ahlan wa sahlan). Selalu membuka diri bagi siapa saja yang ingin bersahabat. Begitulah Rasulullah SAW dalam kesehariannya. Selalu bergaul dengan siapa saja. Baik orang kaya maupun rakyat jelata. Bahkan tamu yang datang ke rumahnya selalu diterima dengan penuh keramah tamahannya. Padahal tamu-tamu beliau sangat beragam. Ada orang muslim, ada orang Yahudi, ada orang Nasrani, ada orang Non Muslim yang ingin bertemu Rasul di rumahnya. Beliau tidak pernah menolak tamu. Sekalipun setiap hari melayani umat dengan berbagai keperluan. Semua tamu merasa terhormat, karena selalu dihormati oleh beliau. Sehingga wajarlah kalau Rasulullah SAW pada akhirnya menjadi The great man. Menjadi orang terhebat di muka bumi ini. Karena pengaruhnya yang luar biasa terhadap kehidupan manusia secara universal. Dan beliaulah contoh dalam menerapkan konsep Iman dan Islam yang sebenarnya. Wallahu a'lam. (*)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X