RADARDEPOK.COM, DEPOK - Revitalisasi atau pelebaran trotoar di Jalan Raya Margonda, yang mulai dilakukan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kota Depok, harus memerhatikan sejumlah hal. Antara lain, inklusif, ramah, workable, dan partisipasi masyarakat.
Ketua Koalisi Pejalan Kaki, Alfred Sitorus mengatakan, pembangunan maupun revitalisasi trotoar tentunya harus mementingkan kenyamanan dan keamanan para pejalan kaki, khususnya kaum disabilitas. Sebab, jika pedestrian sudah ramah bagi disabilitas, maka akan aman untuk masyarakat luas.
"Pemkot Depok harus bisa menjadikan teman-teman disabilitas sebagai indikator atau syarat paling maksimal. Karena, ketika trotoar menurut teman-teman disabilitas sudah akses, jadi bisa untuk semua," ujarnya kepada Radar Depok, Selasa (23/11).
Alfred menyebut, sebelum Pemkot membangun pedestrian, partisipasi publik juga perlu dilibatkan. Sebab, merekalah yang akan menggunakan trotoar, sehingga ada rasa memiliki yang timbul untuk menjaga dan melestarikannya.
"Bicaranya harus inklusif, ramah, dan workable, itu yang paling utama ketika Depok membangun fasilitas trotoar. Lalu partisipasi publik, seperti apa kehadiran mereka dalam pembangunan trotoar? Intinya semua stakeholder harus berpartisipasi," bebernya.
Alfred yang juga sebagai Warga Depok mengaku sampai saat ini, fasilitas pejalan kaki di Depok merupakan paling fakir dibandingkan seluruh Kota di Indonesia, khususnya yang berdekatan dengan metropolitan.
"Tidak ada trotoar yang layak. Bicara kota yang berdekatan dengan metropolitan, Kota dan Kabupaten Bogor sudah mulai membenahi pedestriannya. Saya ber-KTP Depok dan Warga Depok kalau bicara fasilitas pejalan kaki, di Depok adalah paling fakir," tegasnya.
Menurutnya, tingkat keselamatan trotoar terkait nilai kekesatan (skid resistance) dan tingkat kenyamanan mengenai kerataan di Kota Depok masih jauh dari kata layak. Contohnya di trotoar Jalan Dewi Sartika, permukaan fasilitas itu menggunakan keramik yang diperuntukkan untuk indoor, sehingga dapat membahayakan pejalan kaki ketika hujan.
"Di Peraturan Menteri (Permen) PU Nomer 3 tahun 2014 kan ada syarat (pembangunan trotoar). Jadi mau cuaca kering dan hujan gak terpeleset (pejalan kaki), skid resistance harus bisa mencengkram alas kaki," tuturnya.
Berikutnya, trotoar dibangun secara ramah untuk disabilitas. Setiap ujung trotoar tidak boleh ada gap atau cekungan, dan harus memakai ram bidang miring agar memudahkan pengguna kursi roda.
"Kalau bisa disama ratakan (trotoar dengan jalan keluar masuk dari gedung), jadi jalanan gedung yang harus menyesuaikan, bukan manusianya. Indikator berikutnya adalah mengurangi obstacle di dalam trotoar, seperti banyak tiang-tiang dan utilitas yang membahayakan pejalan kaki," ucapnya.
Selanjutnya, akses masyarakat menuju fasilitas publik dengan berjalan kaki maupun kendaraan umum masih sangat minim. Paling-paling hanya mengandalkan kendaraan pribadi, yang menyebabkan jumlahnya kian bertambah setiap tahunnya.
"Saya coba tantang Pemkot Depok, Fasilitas publik yang bisa dicontoh dan diakses semua orang. Misalnya ke Alun-Alun di GDC, karena tidak ada akses kendaraan umum, mau gak mau pakai kendaraan pribadi, bagaimana teman-teman disabilitas dan lansia?," ungkapnya.
Pemkot Depok harus menurunkan egonya untuk memperhatikan ruang publik dan aksesbilitasnya. Pasalnya, pola digitalisasi kian masif ini memudahkan dan mengubah mindset masyarakat untuk beralih ke transportasi publik.
"PR Depok sangat panjang dan saya kira dicukupkanlah egonya harus lebih dikurangi. Kalau tidak, Kota Depok akan kembali menjadi desa," tukasnya.