RADARDEPOK.COM, DEPOK – Ditundanya pembuangan sampah Depok ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Nambo Kabupaten Bogor, gegara imbas perang Rusia-Ukraina, sehingga berdampak pada terlambatnya pembuangan sampah Kota Depok ke Nambo.
Terkait hal itu, Anggota Komisi C DPRD Kota Depok dari Fraksi PKS, Sri Utami menilai, kondisi tersebut harus disikapi serius mengingat TPA Cipayung sudah sangat overload.
Sri menegaskan, kesempatan ini harusnya digunakan untuk mendesak program pengurangan sampah di hulu. Di Kota Depok terdapat sekitar 400-an bank sampah, namun sifatnya masih sukarela dari masyarakat.
Hal tersebut seharusnya menjadi strategi Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) untuk lebih menggenjot secara lebih masif lagi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di masyarakat.
“Sesuai dengan Perda Nomor 5 Tahun 2014 dan diubah Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah, kan ada tanggung jawab masyarakat dalam menyelesaikan problem sampah,” ungkap Sri Utami.
Menurut Sri Utami jika seperti dalam penanganan Covid-19 pemangku wilayah mulai dari Camat, Lurah RW, RT ada satgas Covid-19, dalam menyelesaikan sampah bisa dibentuk Satgas sampah meniru kesuksesan satgas Covid-19. Bisa juga dibuatkan aplikasinya seperti Picodep.
“Sekitar 60 persen sampah kan terdiri dari sampah organik dan 25 persen non organik. Kalau timbulan sampah seribu ton per hari berarti ada 850 ton sampah non organik dan organik. Ini harusnya bisa diselesaikan di hulu. Untuk yang non organik selama ini diselesaikan oleh bank sampah, tetapi masih terbatas. Jika ini dikelola lebih serius bisa jadi nilai ekonomi yang kembali ke masyarakat,” tutur Sri Utami.
Sementara yang 60 persen sampah organik selama ini diolah oleh UPS, namun karena kapasitas UPS terbatas sehingga belum bisa maksimal. Menurutnya, ada cara sederhana yang bisa dilakukan rumah tangga yakni dengan komposting sederhana hanya dengan karung atau kaleng cat bekas sudah bisa dilakukan.
Hasil komposnya bisa menghijaukan lingkungan sekitar. Ini tentu perlu bimbingan dan arahan seluruh lini pemangku kepentingan. Jadi perlu semacam Gerakan Semesta mengentaskan sampah.
“Tinggal bagaimana sistemnya kita design agar ini menjadi pekerjaan ‘keroyokan’. Namun spiritnya pengurangan sampah dari hulu, dan bukan sekedar pengangkutan sampah ke hilir/TPA,” terang Sri Utami.
Dengan begitu diharapkan yang dibuang ke TPA hanya residu, yaitu sekitar 15 persen. Ini akan sangat menghemat TPA Depok, dan pastinya mengurangi tekanan APBD Depok. Yang semula masih tercampur dan dibuang ribuan ton ke TPA Cipayung akan sangat berkurang.
Selain itu lanjut Sri Utami, ini tinggal kesungguhan kita dalam mendesign sistem dan alur kerjanya agar mudah diikuti seluruh lini pemangku kepentingan mulai dari rumah tangga, RT, RW, lurah, camat dan DLHK sendiri selaku leading sector.
“Jadi keterlambatan Nambo bisa jadi momentum untuk menyelesaikan sampah dari hulu bukan di hilir (TPA). Karena amanah Undang-Undang memang seperti itu. Dengan gerakan semesta ini akan mendorong kesadaran dan tanggung jawab masyarakat terhadap sampah. Tidak membuang sampah di kali atau menggeletakkan di jalan-jalan. Karena bisa jadi mereka melakukan itu karena tidak mampu membayar iuran sampah yang dirasa memberatkan,” pungkas Sri Utami. (gun/**)