Pahit manisnya dunia HIV/Aids sudah larut diselami Dima Safitri. Meski bukan pengidap, dia telah mengabdikan diri pada dunia tersebut. Paling berkesan, dia pernah setia mendampingi seorang bocah dengan HIV yang kini telah dipanggil sang kuasa.
Laporan : Gerard Soeharly
RADARDEPOK.COM, Mengulas kembali beberapa tahun silam, Dima Safitiri ingat betul kejadian di Warung Kopinya, wilayah Cipayung Depok. Saat itu, founder komunitasnya yang kebetulan sedang berkumpul bertatapan tajam dengan seorang pria yang tak lain tak bukan adalah sahabat karib anaknya.
Kala itu, jantung Dima berdebar kencang dan tak karuan. Dalam hatinya seperti ada yang bergejolak. Feelingnya juga berfantasi liar. Dia takut sesuatu yang buruk akan segera terdengar oleh telinganya.
"Wah jangan-jangan, aku tuh langsung deg-degan waktu liat mereka liat-liatan," ungkapnya kepada Radar Depok, Senin (15/8).
Tak berselang lama dari momen mendebarkan itu, Dima mendapatkan kabar bahwa anak tersebut sedang terkapar tak berdaya pada Instalasi Gawat Darurat (IGD) salah satu rumah sakit di Kota Depok.
Mendaptkan kabar itu, dia ingat bahwa anak tersebut memiliki sebuah kelaianan seks yakni penyuka sesam jenis. Tetapi, hal itu tidak sama sekali mengurungkan niat dia untuk menolong anak tersebut.
Dengan setia, Dima datang dan menunggunya. Namun, dia sedikit terkejut mendengar penjelasan dari dokter. Kondisinya, masuk dalam tingkatan terparah pada penyakit HIV.
"Nah aku merasa disitu sebagai keluarga terdekat, terus melakukan penguatan ya. Dia juga manggil aku mama gitu dari dulu. Anaknya manjanya luar biasa," tuturnya.
Dima kembali dibuat terkejut, saat pengakuan anak itu bahwa telah melakukan Open BO (menjajaki seks) dan menjual narkoba demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan, anak tersebut sempat masuk penajara akibat perbuatannya itu.
Berangkat darisitu, anak tersebut mendapatkan penolakan dari keluarganya. Beruntung, Dima memiliki komunitas yang memang peduli atau setidaknya dapat rumah kedua bagai pengidap HIV/Aids. Disana, mereka tidak pernah memandang apapun latar belakang pengidap HIV/Aids.
"Disitu, lagi-lagi aku merasakan peran komunitas itu sangat penting aku juga bingung harus ngurusin anak ini gimana, keluarganya tidak peduli. Temen temennya sendiri dan temen komunitas patungan untuk biaya di rumah sakit," beber Dima.
Takdir berkata lain, anak tersebut dipanggil pulang sang ilahi. Dia tak merasakan sakit lagi. Dia benar-benar pulang ke rumah sesungguhnya.
"Tapi nasib berkata lain dan dia meninggal dunia," ungkap Dima.
Untuk penghormatan, Dima dan kawan-kawan mencoba merayu kelaurga untuk membukakan pintu maaf dan menghadiri pemakaman almarhum. Usahanya tidak sia-sia, setelah melawati berbagai macam drama, akhirnya keluarga datang dan memberikan penghormatan terakhir bagi anak tersebut.
Diakhir kata, Dima menitipkan pesan kepada pembaca supaya tidak mendiskriminasi atau mengintimidasi pengidap HIV/Aids. Bayangkan saja, mereka harus menerima sakit berkali-kali lipat karena penolakan dari orang sekitar ditambah penyakit yang dideritanya. Itulah alasan dia menjadi rumah kedua bagi Orang Dengan HIV (Odhiv) melalui komunitas yang digelutinya. (*)
Editor : Junior Williandro