RADARDEPOK.COM-Kasus pelecehan seksual terhadap anak yang dilakukan Lukas Lucky Ngalngola alias Bruder Angelo terhadap anak Panti Asuhan Kencana Bejana Rohani di Perumahan Mutiara Kota Depok masih terus berlangsung.
Setelah Pengadilan Negeri Kota Depok dan Pengadilan Tinggi Bandung mengetuk palu bahwa Bruder Angelo bersalah dan harus dipenjara. Kini, Terdakwa akan melakukan banding ke Mahkamah Agung seperti Informasi yang dihimpun Radar Depok kepada Kuasa Hukum Korban Ermelina Singeret, Minggu (18/9).
Sebelumnya, Pada tanggal 20 Januari 2022, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok memvonis Bruder Angelo dengan 14 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok menyatakan bahwa Terdakwa Bruder Angelo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan ancaman kekerasan, memaksa anak untuk melakukan perbuatan cabul.
Ermelina lebih lanjut menjelaskan bahwa Terdakwa Bruder Angelo keberatan atas putusan Pengadilan Negeri Depok tersebut dengan mengajukan upaya hukum Banding ke Pengadilan Tinggi Bandung.
“Pengadilan Tinggi Bandung telah memutuskan perkara ini pada tanggal 6 April 2022 menguatkan putusan Pengadilan Negeri Depok memvonis TerdakwaBruder Angelo 14 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan,” jelasnya.
Kata Ermelina, Putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang terdaftar dalam registerister perkara Nomor: 72/Pid.Sus/2022/PT.BDG ini sangat berkeadilan bagi korban. Karena itu putusan Pengadilan Tinggi Bandung ini layak diapresiasi.
Senada dengan itu, Jaringan Peduli Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang turut mengawal kasus ini, Dinna Prapto Raharja menyatakan, senang mendengar informasi bahwa Pengadilan Tinggi Bandung menguatkan putusan Pengadilan Negeri Depok.
“Ini keinginan kita bersama, ternyata pengadilan tingkat banding tetap menghukum Terdakwa akibat kekerasan seksual kepada korban yang masih anak,” unkapnya
Sementara itu, End child Prostitution, Child Pornography And Trafficking (ECPAT) Indonesia, Andy Ardian menyatakan, bahwa putusan Pengadilan Tinggi Bandung ini menunjukkan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung memiliki kepekaan sehingga memutuskan yang terbaik untuk mendapatkan keadilan bagi korban.
Andy yang juga merupakan aktivis perlindungan anak ini menjelaskan, jika melihat banyaknya peristiwa kekerasan seksual terhadap anak di negara ini sangat memprihatinkan. Sehingga dengan putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang tetap memvonis Terdakwa dengan hukuman penjara selama 14 tahun, menjadi pembelajaran dan peringatan bagi masyarakat untuk tidak melakukan kekerasan seksual karena dengan melakukan kekerasan seksual mengakibatkan konsekuensi hukum yaitu hukuman penjara.
“Ini harus jadio peringatan dan pembelajaran kepada masyarakat untuk tidak melakukan hal serupa karena anak-anak itu sebagai generasi yang harus dijaga dan dirawat menjadi lebih baik,” tegasnya.
BACA JUGA : Bruder Angelo Dituntut 14 Tahun dan Denda 100 Juta
Kelompok Perempuan Katolik Pegiat HAM dan Kemanusiaan, Nancy Sunarno melihat bahwa kekerasan seksual merendahkan harkat dan martabat manusia, mengingkari dan bertentangan dengan kemanusiaan. Karena itu putusan Pengadilan Tinggi Bandung tersebut sangat tepat menghukum Terdakwa karena perbuatannya yang telah merendahkan harkat dan martabat manusia yaitu korban.
“Sisi lain karena saat ini peristiwa kekerasan seksual sangat banyak terjadi baik terhadap perempuan dan anak, untuk itu Undang-Undang No 12 Tahun 2021 Tentang Tindak Pidana Kekerasaan Seksual harus benar-benar diterapkan oleh penegak hukum kepada pelaku kekerasan seksual baik terhadap perempuan maupuan terhadap anak,” beber Nancy.
Meski putusan Pengadilan Tinggi Bandung memperkuat putusan Pengadilan Negeri Depok, tapi Terdakwa bersama kuasa hukumnya mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Hal ini disampaiakan Kuasa Hukum Korban Judianto Simanjuntak.
“Terdakwa tetap bertahan pada sikapnya tidak melakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadap korban. Hal ini adalah berdasarkan upaya hukum Kasasi ke Mahamah Agung yang diajukan tanggal 27 April 2022 melalui Penasihat Hukum Terdakwa,” ungkapnya melalui keterangan resmi.
Selanjutnya, kata Judianto, Penasihat Hukum Terdakwa mengajukan memori kasasi pada tanggal 9 Mei 2022. Kurang lebih dua minggu setelah itu, PN Depok mengirimkan berkas perkara ke Mahkamah Agung.
“Informasi tersebut kami dapat dari bagian Pidana PN Depok dan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Depok,” tambahnya.
Menurut Judianto, berlanjutnya upaya hukum yang dilakukan Terdakwa mulai dari Banding sampai Kasasi sebenarnya tidak mengherankan, karena selama persidangan di PN Depok, Terdakwa selalu membantah kekerasan seksual yang dilakukannya kepada korban.
Judianto yang juga anggota Public Interest Lawyer Network (Pil-Net) lebih lanjut menerangkan, perkara ini sedang di tangan pengadilan tertinggi yaitu Mahkamah Agung. Berdasarkan Hukum Acara Pidana, upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung merupakan upaya hukum biasa yang terakhir.
“ Tidak ada lagi upaya hukum biasa setelah kasasi. Jika nanti Majelis Hakim Mahkamah Agung yang memeriksa, menyidangkan perkara ini memutuskan perkara ini, maka dengan sendirinya putusan kasasi Mahkamah Agung tersebut dinyatakan berkekuatan hukum tetap, final, dan mengikat,” jelas Judianto.
Dirinya sangat berharap kepada Majelis Hakim Mahkamah Agung yang memeriksa, menyidangkan perkara ini agar menggunakan hati nuraninya dalam memutuskan yang terbaik demi penegakan hukum terdahap Terdakwa selaku pelaku kekerasan seksual terhadap anak Panti Asuhan Kencana Bejana Rohani di Perumahan Mutiara Kota Depok.
“Tujuannya adalah selain untuk mewujudkan keadilan bagi korban juga keadilan bagi publik,” katanya.
Sehingga Judianto mengharapkan, Majelis Hakim Mahkamah Agung agar menguatkan putusan Pengadillan Tinggi Bandung Nomor: 72/Pid.Sus/2022/PT.BDG, tanggal 6 April 2022 Jo putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor: 317/Pid.Sus/2021/PN Dpk, Tanggal 20 Januari 2022.
Dengan alasan, pertama, Perkara ini berlatar belakang relasi kuasa, dimana Terdakwa adalah pengasuh anak-anak termasuk korban di Panti Asuhan yang dipimpin dan dikelola Terdakwa. Kedua, kekerasan seksual yang dilakukan Terdakwa terhadap korban mengakibatkan korban mengalami trauma, ketakutan, dan cemas.
Ketiga, tindakan kekerasan seksual yang dilakukan Terdakwa terhadap korban merupakan perbuatan berlanjut sebagaimana dimaksud dalampasal 64 KUHP. Keempat, di persidangan, Terdakwa tidak mengakui tindak pidana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum.
Judianto menilai, hukuman penjara bagi Terdakwa bertujuan untuk menimbulkan efek jera kepada Terdakwa. Selain itu, untuk memberikan perlindungan dan memberikan keadilan kepada korban dan publik.
“Diharapkan Majelis Hakim Mahkamah Agung yang memeriksa, menyidangkan, dan memutus perkara ini memberikan putusan yang adil untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban dan publik,” harap Judianto.
Jaringan masyarakat sipil yang mengawal penuntasan kasus kekerasan seksual yang dialami anak panti asuhan Depok terdiri dari, End child Prostitution, Child Pornography And Trafficking (ECPAT) Indonesia, Jaringan Peduli Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Mitra ImaDei, Kelompok Perempuan Katolik Pegiat HAM dan Kemanusiaan, Tim Pembela Hukum Anak Indonesia (Pendamping Hukum/Kuasa Hukum Korban). (arn)
Jurnalis : Arnet Kelmanutu
Editor : Junior Wiliandro