Rumah adat Betawi yang dibangun oleh Haji Nengsan sebelum masa kemerdekaan, sekarang sudah diturunkan ke generasi ketiga, yaitu Naserih Nasin. Keajegan arsitektur dan ornamen menjadi saksi bisu perjalan waktu rumah itu.
Laporan : Audie Salsabila Hariyadi
Semilir angin berhembus dari timur menuju barat, bola mata melirik bocah lelaki yang lincah memanjat Pohon Rambutan untuk memanen buah yang sudah masak. Beberapa menit kemudian setelah cukup banyak memetik buah tropis tersebut, bocah itu pun memanggil kedua orang tuanya untuk menikmati bersama.
Terdapat lima kursi dan satu meja panjang yang lebih rendah dari kursinya pada sisi kiri depan rumah asli khas Betawi itu. Di sanalah mereka duduk memulai perbincangan kilas balik dari rumah yang berbahan baku kayu dan bercat hijau di Kelurahan Kalimulya, Kecamatan Cilodong.
Rumah yang didominasi warna hijau merupakan akulturasi budaya lokal dan luar negeri yang berdiri di tanah seluas 1.000 meter. Naserin juga bersaksi bahwa rumahnya sering dijadikan tempat pertemuan tokoh masyarakat penting dan tergolong rumah yang mewah pada masanya.
“Dari lahir tahun 1956, saya sudah tumbuh di sini. Sejak kakek saya membangun rumah ini sampai turun ke saya. Tidak ada perubahan arsitektur sama sekali, hanya perbaikan kecil untuk mengganti kayu yang lapuk atau mencat rumah,” tutur Naserih kepada awak Radar Depok yang bertamu, Jumat (23/12).
Plafon dan dinding teras sisi kanan-kiri bagian atas yang berwarna putih, terbuat dari anyaman bambu. Sementara dinding, jendela, dan pintu depan yang berwarna coklat tua, terbuat dari galing pohon nangka. Maka dari itu, walaupun termakan zaman, masih terlihat kokoh.
Rumah ini memiliki tujuh ruangan yang terdiri dari satu ruang tamu, dua kamar tidur, satu ruang keluarga, dapur, dan dua kamar mandi. Melestarikan keotentikan dari Rumah Betawi ini masih terjaga, Naserih mempertahankan lantai rumah dengan semen, bukan ubin keramik yang digunakan rumah pada umumnya.
Suasana tempo doeloe makin dirasakan ketika awak Radar Depok dipersilahkan masuk Naserih dalam rumah. Lukisan, foto keluarga serta ornamen zaman jadul menghiasi dinding selama mata memandang.
Naserih saat itu didampingi sang istra Badriah mengajak awak Radar Depok untuk melihat tiap sudut rumahnya. Tak tanggung-tanggung, mereka sampai melangkahkan kaki hingga titik akhir di dapur rumah.
“Dulu di tengah dapur sini ada tungku besar. Tapi karena udah gak pakai kayu bakar lagi dan asapnya ke mana-mana, kita hancurin dan di pojok sana kita jadikan tempat kompor. Jadi, di tengah ini lega dan luas,” ujarnya seraya duduk di tempat lesehan sisi kanan.
Keluar melalui pintu belakang, dia bercerita bahwa di halaman samping sebelum adanya kos-kosan, terdapat rumah panggung yang dijadikan tempat bersantai keluarga serta tetangga. Namun, sayangnya tinggal kenangan saja dalam ingatan Naserih serta keluarga.
“Dibongkar rumah panggungnya, buat Mpok saya bangun rumah. Kayunya masih bagus, jadi biar gak memakan banyak modal,” kisah Naserih. (Bersambung)