RADARDEPOK.COM - Ibadah Jumat Agung, Jumat (7/4), di GPIB Immanuel Depok berlangsung khusyuk dan khidmat. Ibadah terbagi menjadi empat sesi, pukul 07:00 WIB di Pos Ibadah GPIB Immanuel Depok, serta pada pukul 06:00, 09:00, dan 17:00 WIB di Gedung Gereja GPIB Immanuel Depok.
Baca Juga: Makara Art Center Gelar Syiar Ramadan di Kampus UI Depok
Radar Depok memantau peribadahan di GPIB Immanuel Depok, gereja tertua di Depok, sekitar pukul 16:30 WIB. Jemaat mulai berdatangan dan diarahkan oleh Majelis Jemaat menuju tempat duduknya.
Baca Juga: Kaesang Pangarep Maju Pilkada Depok, Ini Sikap Partai Gerindra : Harus Survei Dulu
Selanjutnya, pukul 17:00 WIB, Ibadah Jumat Agung dimulai. Jemaat menjalankan ibadahnya dengan khusyuk.
Pendeta Volentines H. Hengkesa mengatakan, kematian Kristus (Jumat Agung) adalah bagaimana umat Tuhan saat ini, mampu menyadari bahwa pengorbanan Kristus di Kayu Salib itu hanya untuk mendamaikan antara kita, sebagai umat Tuhan dengan Tuhan ataupun dengan semesta ciptaan Tuhan.
Baca Juga: Gangster Serang Warga Pengasinan Depok yang Bangunkan Sahur, Dua Anak Disabet Sajam
"Saya yakin dan percaya juga akhirnya lewat itu kita mampu memaknai pengorbanan Kristus, untuk itu kita juga turut mengambil bagian dalam penderitaan Kristus dan berkorban bagi sesama," ungkap Volentines H. Hengkesa.
Salah satu Warga Jemaat GPIB Immanuel Depok, Veibert Moudy Pinontoan, mengingat akan pengorbanan Tuhan Yesus di Kayu Salib. Dirinya mengucap syukur ada jaminan keselamatan yang sudah Tuhan berikan.
Baca Juga: Konsolidasi Partai Gerindra Depok, Pradi Supriatna : Tujuan Kami Menang!
“Pengorbanan Tuhan memberikan jaminan di masa depan. Apapun yang kamu perbuat, perbuatlah itu untuk Tuhan, karena Tuhan sudah memberikan yang terbaik untuk kita,” ungkap dia.
Baca Juga: KPK Memanas! Brigjen Endar Tegaskan Ikut Perintah Kapolri Listyo Sigit Tetap di KPK
GPIB Immanuel Depok sudah berdiri sejak tahun 1713. Awalnya, bangunan gereja ini terbuat dari kayu dan bambu. Kemudian pada tahun 1792 direnovasi menggunakan materail batu.
Gereja ini bertahan hingga 1833, sebelum kemudian rusak akibat gempa Gunung Krakatau. Saat bangunan itu rusak, jemaat beribadah di bangunan darurat hingga tahun 1854. Kemudian gereja dibuka permanen lagi pada tahun 1854. (mg4)
Jurnalis : Tracy Valerie Bacas