Sekolah Master. Kependekan dari Masjid Terminal. Sekolah yang tepat berada di lingkungan Terminal Depok ini, memang kerap menampung anak jalanan untuk memperoleh pendidikan. Gratis. Yang penting punya kemauan. Julpan Simanjuntak adalah seorang murid yang pernah belajar disana. Lima tahun dia menimba ilmu.
Laporan : Bunga Rae Maden
RADARDEPOK.COM, Waktu menunjukan pukul 11:00 WIB. Menjelang tengah hari. Tapi tidak ada matahari bersinar. Cuaca mendung, dengan semilir angin sejuk.
Julpan dengan sigap mengangkat helm yang masih ‘tercantol’ di stang motor. Ada juga yang diletakan di jok. Hujan mulai turun. Ia tak ingin helm-helm yang berada di parkiran Sekolah Master jadi basah. Makanya ia tepikan ke tempat teduh.
“Untung masih sempat (amankan helm). Kalau tidak bisa basah. Ini kan motor tamu kasihan kalau basah,” Julpan berujar sendiri.
Sesaat hujan turun dengan derasnya. Julpan turut berteduh, sekalian menjaga helm yang ia amankan tadi. Tanggungjawabnya sebagai petugas parkir Sekolah Master. Sudah lima tahun ia mengabdi di sekolah tersebut. Tak cuma jadi tukang parkir, namun ia juga menimba ilmu disana sebagai murid.
“Sebelum disini, saya lebih banyak menghabiskan waktu di jalan,” memori Julpan kembali ke beberapa tahun silam. “Untung saja bisa sampai disini. Mudah-mudahan ada masa depan cerah untuk saya,” menimpali ocehannya sendiri.
Jaket hijau pudarnya basah. Ia gantung untuk dikeringkan. Sembari menunggu reda hujan, ia menyeruput kopi hitam di gelas bekasn air mineral. “Lumayan buat menghangatkan tubuh,” beber dia.
Lepas Azan Zuhur, lalu lalang murid terlihat ramai. Sudah waktunya pulang. Mereka menuruni anak tangga. Kelas ada yang berada di lantai satu dan dua. Kelas dengan tempat parkir tempat Julpan berada, jaraknya berdekatan.
“Hati-hati tangganya licin. Pegangan ya,” pinta Julpa kepada seorang siswi. Hujan sudah reda. Cuma genangan air masih ada.
Julpan sudah lima tahun menetap di Sekolah Master. Dia bukannya tidak punya rumah. Ada. Di Kampung Panjang, Citayam. Hanya saja, sejak ada masalah keluarga, rumah tak lagi menjadi tempat yang nyaman buat Julpan. Ia memilih hidup di jalan.
“Saya hidup di jalanan. Melakukan banyak negatif. Terbawa pergaulan. Saya niatnya hanya mencari uang,” terangnya. Di jalan, ia mengamen. Uang yang diperoleh bukannya dipakai untuk keperluan hidup, justru dipakai untuk hal melenceng. Narkoba salah satunya.
Pemuda 20 itu lama ‘luntang-lantung’ di jalan. Beberapa tahun. Sejak lama akrab dengan debu jalanan. Hidup yang keras untuk bocah belia. Banyak faktor yang mendorongnya ke jalan. Penghasilan bapaknya yang pas-pasnya, hingga kurangnya kasih sayang ibu. Sang ibu sudah meninggal pada 2020.
“Saya mengamen tidak cuma di Depok. Sampai Stasiun Menggarai. Bisa Rp50 ribu per harinya,” ucapnya.