3. Penghentian penyidikan demi hukum. Contohnya karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kedaluwarsa berdasarkan uraian diatas tidak ada dalil alasan gangguan jiwa dapat digunakan sebagai dasar menghentikan penyidikan.
Uraian diatas diperkuat penjelasan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk Kepentingan Penegakan Hukum yang mana peraturan menteri tersebut sebagai turunan dari amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa menerangkan "Bukanlah tugas Dokter spesialis kedokteran jiwa yang membuat VeRP untuk menentukan pertanggung jawaban terperiksa karena pengertian itu bukanlah pengertian dalam disiplin ilmu kedokteran.
Penentuan pertanggungjawaban tersebut adalah hak dari hakim pengadilan Dokter spesialis kedokteran jiwa dapat membantu hakim dengan mengemukakan unsur-unsur yang dapat menentukan pertanggungan jawaban terperiksa.
Ketiga, terkait penangan perkara yakni berkas perkara dinyatakan lengkap oleh jaksa kemudian disidangkan oleh penuntut umum dengan proses yang panjang dan ahirnya divonis terbukti melakukan perbuatan pidana sebagaimana dakwaan namun lepas demi hukum.
Pertanyaan apakah tercapai tujuan melakukan proses peradilan bila dikaitkan dengan tujuan pemidanaan ?
Dari uraian diatas sistem peradilan pidana yang ada saat ini dengan nuansa kental pemisahan lembaga sepertinya Perlunya dilakukan rekonstruksi sistem peradilan pidana khususnya terhadap perkara orang yang melakukan pidana diduga ODGJ dengan jalan penguatan fungsi dominis litis kejaksaan guna merekonstruksi sistem peradilan dengan model terpisah saat ini menjadi sistem peradilan pidana terpadu.
Konsep diatas tentu sejalan dengan pasal 31 Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang mengamanatkan Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri.
Singkatnya dalam sistem peradilan terpadu tersebut konsepnya berorientasi terhadap penyelesaian perkara bukan sebatas pemisahan lembaga serta berkas kertas perkara belaka dengan alur kerjanya penyidik sebelum menaikan penyidikan wajib langsung berkordinasi kepada jaksa selanjutnya jaksa selaku pengendali perkara meminta dan jika diperlukan maka dapat mendampingi penyidik untuk dapat menyiapkan alat bukti sebagaimana 184 KUHAP berupa keterangan ahli,surat ,saksi selanjutnya alat bukti tersebut dijadikan dasar jaksa memohon penetapan pengadilan
Selanjutnya dipengadilan telah dibentuk hakim tunggal yang melakukan pemeriksaan atas permohonan penetapan yang diajukan jaksa dan menuangkan hasil pemeriksaan tersebut dalam bentuk putusan penetapan dengan dasar penetapan hakim tersebutlah jaksa menempatkan ke Rumah sakit jiwa dan menghentikan penangan perkara sehingga tercapailah keadilan ,kepastian dan kemampatan hukum terhadap perkara yang dilakukan oleh ODGJ. (*)
Penulis : Alfa Dera
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jayabaya