Senin, 22 Desember 2025

Waspada Dampak Ekonomi Imbas Perang Rusia-Ukraina

- Rabu, 6 April 2022 | 22:51 WIB
NAIK : Suasana antrian panjang di SPBU Jalan Kartini Raya. Kejadian ini buntut dari kenaikan harga Pertamax sehingga pengendara berbondong-bondong mengisi BBM jenis Pertalite. ARNET/RADAR DEPOK
NAIK : Suasana antrian panjang di SPBU Jalan Kartini Raya. Kejadian ini buntut dari kenaikan harga Pertamax sehingga pengendara berbondong-bondong mengisi BBM jenis Pertalite. ARNET/RADAR DEPOK

RADARDEPOK.COM, DEPOK - Krisis ekonomi dunia yang berkepanjangan akibat wabah, kini mendapat tantangan baru yakni potensi krisis pangan dan energi. Hal tersebut bisa terjadi bila pertempuran antara Rusia dan Ukraina berkepanjangan, diiringi perang dagang antara Blok Barat dan Rusia.


Rusia merupakan salah satu negara utama pengekspor energi dan pangan, terutama gandum dan energi. Bila konflik ini berkepanjangan, maka harga energi dan pangan dunia akan mengalami kenaikan,” ujar ekonom dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Ardito Bhinadi saat memberikan pemaparan ekonomi di salah satu hotel di Depok, Rabu (6/4).


Menurutnya, dampak kenaikan pangan dan energi tersebut bisa dipastikan sampai ke Indonesia. Indonesia meskipun sebagian besar penduduknya mengkonsumsi beras, namun impor gandum Indonesia terus naik setiap tahun. Masyarakat Indonesia terbiasa pula mengkonsumsi mie, pasta, dan roti, yang kesemuanya berbahan gandum, yang saat ini harganya mulai melambung.


Perang Ukraina dan Rusia, bisa berpengaruh pada sektor energi, akibatnya harga-harga barang juga mengalami kenaikan.


Karena energi ini merupakan input utama dalam produksi barang dan jasa, termasuk distribusinya,” ujar Ardito yang juga Ketua DPP LDII Koordinator Bidang Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat.


Dia memperkirakan, jika perang makin panjang dan meluas menjadi perang dagang antara Barat dan Rusia, kenaikan harga barang atau inflasi bisa mencapai 2,5-4,5 persen.


Bank Indonesia memperkirakan pada 2022, inflasi mencapai 3 persen plus minus, yang artinya inflasi di antara 2-4 persen. Ceritanya bisa lain, bila perang berkepanjangan,” tutur Ardito.


Ardito mengingatkan harga minyak bumi selalu menjadi penyumbang inflasi yang cukup signifikan di Indonesia, terutama pada distribusi barang dan jasa.


Kenaikan harga BBM ini akan meningkatkan harga barang dan jasa. Maka produk-produk atau komoditas juga mengalami kenaikan,” tegasnya.


Hanya saja, saat ini masyarakat mengurangi pergerakan karena kekhawatiran terhadap pandemi Covid-19. Bisa ditebak, saat masyarakat mulai bergerak bebas, permintaan BBM akan meningkat drastis. Arahnya, harga BBM dan komoditas juga terkerek naik.


Soal seberapa besar infalsinya, tergantung bagaimana pemerintah mengendalikannya. Kenaikan inflasi tak lebih dari 1 persen,” ujar Ardito.


Ardito kembali mengingatkan, selain pangan dan energi terdapat 10 bahan pokok seperti beras, minyak goreng, cabai, bawang dan lain-lain, juga kerap memicu inflasi.


Apalagi Ramadan dan Idul Fitri, permintaan tinggi sementara harga BBM juga naik, ini bisa meningkatkan biaya hidup masyarakat,” tegasnya lagi.


Kondisi tersebut mendorong timbulnya stagflasi, yakni pertumbuhan ekonominya stagnan tapi inflasinya naik. Dalam kondisi tersebut, ia pun mengingatkan agar masyarakat dapat hidup hemat. Selain itu menjaga diversifikasi pangan dan melakukan penghematan energi.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X