Setelah prosesi mangongkal holi selesai, rombongan kembali menuju tugundi Dusun Siranggiting III.
Sesampainya disana, rombongan langsung memasuki tugu yang baru saja selasi di bangun. Tugu dibuat dua lantai. Beberapa perwakilan keluarga dan pendeta naik ke lantai atas tug di sana mereka kembali melakukan prosesi ibadah sambil memasukkan tanah dari kuburan nenek moyang mereka ke dalam sebuah ruangan kosong yang disediakan sebagai tempat penyimpanan peti.
Teriring doa dan nyanyian pujian untuk Tuhan, peti-peti tersebut masuk ke dalam tugu yang disediakan ratusan cucu dan cicit orang yang ada dalam peti tersebut.
Setelah prosesi ibadah dan pemasukan peti nenek moyang ke dalam tugu selesai, Semua kelurga yang ada di atas tugu dan di bawah tugu serentak berteriak Horas sebanyak tiga kali tanda berakhirnya proses mangongkal holi dan pemindahan tulang Raja Ompu Siamun Silitonga ke tambaknya.
"Horas, horas, horas," teriak semua orang yang berada di areal tambak.
Puncak kegiatan Horja dilakukan pada hari Selasa (28/6). Di pagi hari Manggulsak dan keluarga kembali ke Dusun Siranggiting III untuk melaksanakan acara puncak Horja.
Kegiatan puncak diawali dengan penyerahan dua ekor kerbau dan dua ekor babi kepada juru sembelih. Terlebih dahulu Manggulsak mengucapkan doa dan pantun adat sebelum menyerahkan pisau untuk memotong kerbau dan babi ke juru potong.
Begitu pisau diserahkan, juru sembelih langsung mengeksekusi kedua kerbau dan kedua babi berukuran besar tersebut.
Setalah itu, semua keturunan Raja Ompu Siamun Silitonga melangsungkan prosesi adat dengan tarian manortor. Kegiatan tarian tortor ini diiringi musik gondang sabangunan dan ogung serta sarune.
Ada hawa magis yang kental tatkala pemain musik meniupkan alat musik sarune yang menjadi ciri khas Bangsa Batak, bahkan mitosnya, jika sarune ditiupkan tidak sedikit orang yang kesurupan. Beruntungnya pada kesempatan ini hal itu tidak terjadi.
Dari Horja ini Radar Depok bisa menilai jika adat Batak itu tak lepas dari musik dan memiliki filosofi yang tinggi dalam kehidupan.
Dalam satu momen, Manggulsak Silitonga meminta pemain gondang tagading untuk mengetuk tagadingnya beberapa kali sebagai media penyampaian doa kepada sang pencipta.
Setelah mendengar aba-aba dari manggulsak, penabuh gondang langsung memainkan beberapa ketukan. Setelah selesai Manggulsak kembali melantunkan doa dan minta pemain gondang untuk kembali menabuh gendangnya dengan harapan lewat tabuhannya doa yang mereka panjatkan sampai kepada Sang Pencipta dan nenek moyang mereka.
Setelah lantunan doa dan puji-pujian selesai, acara diakhiri dengan manortor bersama, pembagian daging kerbau dan babi kepada hadirin, serta makan bersama warga satu dusun. (*)
Editor : Junior Williandro