Situ Tujuh Muara Bojongsari masih memiliki cerita menarik, dibalik keindahannya yang memanjakan mata dengan berbagai destinasi wisata yang beragam saat ini. Cerita tersebut memiliki nilai tersendiri bagi warga sekitar yang dapat diceritakan dengan senang hati.
Laporan : Aldy Rama
RADARDEPOK.COM, Awak Radar Depok kembali bertemu dengan Yono, di lokasi yang sama dengan pemandangan Situ Tujuh Muara Bojongsari, Depok nan indah, dengan anak-anak kecil sekitarnya yang berlarian kesana kemari.
Di lokasi pertemuan yang sama sebelumnya, awak Radar Depok bertemu dengan Yono (Juru Situ Tujuh Muara Bojongsari). Ia duduk di tepi Situ Tujuh Muara Bojongsari, berkutat dengan ponselnya seraya menikmati pemandangan perairan tenang di depannya.
Yono menyapa dengan senyum yang begitu sumringah, ketika awak Radar Depok hadir, untuk kembali menggali informasi terkait Situ Tujuh Muara Bojongsari. Dari tempat awal ia duduk, Yono mengajak bercengkramma di samping warung yang biasa ia sambangi.
Memesan dua cangkir kopi hitam, sebagai teman dikala perbincangan kedua belah pihak. Dengan detail, Yono kembali menceritakan tentang Situ Tujuh Muara. Namun, kali ini pembahasan berkaitan saat pribumi dijajah Belanda, saat Situ Tujuh Muara Bojongsari masih dikelola belanda saat itu.
“Sekitar 1928 di tanggul bagian utara, prajurit Belanda dengan sengaja memerintahkan pribumi untuk membedah tanggul tersebut dengan diameter 50, bermaksud ingin memanfaatkan ikan yang ada disana. Namun, setelah dibedah kemudian mereka (Belanda) menimbun kembali secara tidak permanen, kembali memerintahkan pribumi yang ditutup dengan bahan seadanya seperti semak-semak kecil yang dibabat untuk menutup lubang galian,” ucapnya meyakinkan.
Malang melintang berjalannya waktu, tanggul yang sebelumnya ditutup secara tidak permanen dengan semak-semak, sekira tahun 1930-an tanggul tersebut bocor, dan ditutup menggunakan tanah dan benda-benda seadanya oleh pribumi.
Singkat cerita, pasca kemerdekaan ketika penjajah pulang kampung alias kalah perang, pemanfaatan situ tetap berlanjut. Artinya, masyarakat sekitar memanfaatkan keberadaan situ untuk pertanian, perikanan, mandi hingga mencuci.
“Sekitar tahun 1970-an ketika belanda sudah dipastikan kalah perang, pemanfaatan situ tetap berjalan yang dilakukan warga sekitar, digunakan untuk bertani, budidaya ikan, mandi, mencuci, memancing dan masih banyak lagi karena saat itu air yang berada di situ begitu jernih, berbeda dengan sekarang,” ucap anak ketiga dari 12 bersaudara tersebut.
Berlanjut ke tahun 1980-an, lahan situ yang sebelumnya berukuran 28,25 hektar secara keseluruhan menyusut menjadi 27,24 hektar di bagian selatan situ. Hal ini dikarenakan adanya sedimentasi di tahun tersebut, dari kedalaman air 4 meter menjadi daratan. Setelahnya, warga sekitar menggarap lahan tersebut untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.
Setelah sekian lama situ tersebut digarap warga sekitar, pada tahun 1992 akhirnya situ tersebut mendapat perhatian dari pemerintah, dengan melakukan normalisasi pertama yang sebelumnya dipenuhi semak-semak belukar yang begitu banyak, dibabat habis demi masyarakat.
“Saat itu masyarakat begitu senang, dengan adanya tindakan tersebut menyatakan bahwa pemerintah mengakui keberadaan situ yang begitu penuh cerita, ” ungkap Yono.
Seiring berjalannya waktu ketika memasuki tahun 2000, situ beralih fungsi dari yang sebelumnya ada berbagai macam pemanfaatan air menjadi tidak ada, karena kadar air situ tidak sejernih pada tahun-tahun sebelumnya.