DISKUSI : Narasumber dan peserta Diskusi Mingguan berfoto usai kegiatan yang dilaksanakan CEPP FISIP UI di Gedung B FISIP UI, Depok, Rabu (20/3). Foto: Ricky / Radar Depok
Menyongsong Pemilu Serentak 2019 yang digelar Center for Election And Political Party Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (CEPP FISIP UI) mengadakan Diskusi Mingguan dengan tema KPU dan Pemilu Serentak Tahun 2019 di Gedung B Fisip Universitas Indonesia.
Laporan : Ricky Juliansyah
RADARDEPOK.COM - Membahas Pemilu di tahun politik, tidak hanya menjadi konsumsi penyelenggara Pemilu atau peserta Pemilu, masyarakat maupun akademisi pun ikutan membahas mengenai teknis maupun non teknis pada pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia.
Seperti yang dilakukan CEPP FISIP UI yang dalam diskusi mingguan pada Rabu (20/3) menghadirkan menghadirkan Narasumber Chusnul Mar’iyah, Presiden Direktur CEPP FISIP UI, Mulyadi La Tadampali pengajar di Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, dan narasumber tamu Betty Idroos yang menjabat sebagai Ketua KPU DKI Jakarta.
Salah seorang narasumber Chusnul Mar’iyah mengatakan, supermasi penyelengaraan pemilu di Indonesia didasarkan pada pelaksanaan corection action pada penyelenggara pemilu di Indonesia sejak Pemilu di masa Orde Baru yang penuh dengan Machiavellian Election sampai dengan pemilu serentak di tahun 2019.
Poin penting dari corection action Penyelenggara Pemilu (KPU) ialah untuk melakukan pemuktahiran data pemilu yang menjadi bagian penting dari fungsi penyelanggara pemilu. Kata dia, pemuktahiran data Pemilu harus dilakukan setiap minggu.
“Siapa saja dari warga dan atau penduduk yang sudah pindah, meninggal, dan penduduk yang sudah masuk batasan umur untuk memilih, dan tujuannya ialah untuk memberangus adanya pemilih hantu (ghost voters),” kata Chusnul Mar’iyah.
Reverensi Penyelenggara Pemilu tersebut, didasarkan pada penyelenggaraan pemilu di Australia yang mewajibkan warga negara untuk memilih pada setiap pergelaran pesta demokrasi.
Kemudian Chusnul Mar’iyah, menambahkan dengan total jumlah pasal sebanyak 573 pasal dari UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebabkan pengkaburan muatan penting dari penyelenggaraan Pemilu dan peserta Pemilu. Hal tersebut dapat ditelusuri dengan ketidakjelasan dari pidana penyelenggaraan pemilu dari UU tersebut.
“Siapa yang mampu membaca sebanyak 573 pasal tersebut,” ujar Chusnul Mar’iyah.
Pada Diskusi Mingguan CEPP FISIP UI tersebut dihadiri sebanyak 25 orang peserta. Latar belakang dari peserta diskusi yaitu sebagian besar dari kalangan mahasiswa. Yang terdiri dari Mahasiswa Pascasajarana Ilmu Politik Universitas Indonesia, Mahasiswa UIN Jakarta, Mahasiswa ISIP Jakarta, Mahasiswa UHAMKA Jakarta, dan dari organisasi kemahasiswaan dan pemuda. Sesi diskusi tersebut ditutup dengan foto bersama. (*)