Foto : EfrizaPengamat politik Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara (STIP-AN), Epriza menyoroti Lembaga Musyawarah Perwakilan Rakyat (MPR). Apa saja yang dituangkannya kepada awak Radar Depok ?.Laporan : Ricky JuliansyahRADARDEPOK.COM, - Sudah dua periode ini menjelang pelantikan lembaga perwakilan rakyat, bagi Efriza, lembaga perwakilan rakyat kita hanya sibuk berbagi kursi saja. Ia melihat partai-partai politik hanya berpikir membagi kursi pimpinan dan alat kelengkapan dewan saja.
Makanya, Efriza, tak heran, jika saat ini usulan revisi UU MD3 kembali mengedepankan semangat berbagi kursi. Misalnya, dengan mengupayakan mengakomodir seluruh unsur partai politik di samping unsur DPD untuk memperoleh kursi pimpinan MPR menjadi 10 kursi.
Efriza, melihat konsentrasi perdebatan lembaga perwakilan rakyat di periode ke depan bermuara kepada lembaga MPR. Lihat saja, ada kehendak ingin kembali mengamandemen UUD 1945 dengan alasan bahwa perlunya GBHN, tetapi juga dibalik itu bisa disusupi agenda lain yakni upaya mengembalikan lembaga MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
“Menjadikan lembaga MPR sebagai lembaga tertinggi negara akan berdampak pula, tentu saja menyenangkan bagi yang mendukung, mereka yang tidak ingin lagi Pemilu di tangan rakyat melainkan dikembalikan melalui MPR seperti di zaman Orde Lama dan Orde Baru,” tutur Efriza, yang juga Dosen Ilmu Politik di Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara (STIP-AN).
Sebab, menurut Efriza, “Ada asumsi yang terus digiring bahwa masyarakat kita tidak becus memilih presiden. Padahal, tampak jelas sekali, partai-partai politiklah yang mengajukan calon pasangan presiden, dan partai itu pula yang mencalonkan rematch ulang antara Jokowi dan Prabowo, yang semestinya bisa tiga sampai empat pasang calon presiden diajukan,” ujar Alumnus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta ini.
Bagi Efriza, lembaga MPR ini merupakan lembaga yang rancu dalam sistem ketatanegaraan kita. Bukan saja, semakin membuat keliru keinginan rancang bangun sistem bikameral di Indonesia melalui lembaga DPR dan DPD.
MPR malah menjadi kamar ketiga dari lembaga perwakilan, meskipun pada hakikatnya MPR dikatakan ‘joint session’ antara DPR dan DPD, namun MPR juga adalah institusi dalam dirinya sendiri. Meski begitu, dari sisi pemilihan kita tidak dapat mengatakan MPR adalah lembaga berdiri sendiri, karena MPR itu adalah joint session, artinya mereka tidak dipilih secara terpisah, mereka hanya gabungan DPR dan DPD.
Jadi, seharusnya mereka tahu bahwa pimpinan MPR, adalah anggota DPR dan anggota DPD. Mereka harus menyadari bahwa pimpinan MPR dan anggota MPR adalah tetap sebagai anggota DPR dan DPD.
Jabatan Pimpinan MPR ini sebenarnya tidak ada kerjaan, melainkan formalitas saja bahwa MPR itu selalu stand bye setiap saat dibutuhkan, seperti untuk perubahan konstitusi dan pemakzulan, namun sangat disayangkan memang MPR dipaksakan memiliki kerja rutin yang sebenarnya mencederai posisi prestisius MPR yakni melakukan sosialisasi empat pilar.
“Meski demikian, daripada menggiring kepada upaya revisi undang-undang MD3 dengan menambah kursi pimpinan MPR, semestinya Revisi UU MD3 menggiring kepada bahwa pimpinan MPR itu dirangkap saja oleh pimpinan DPR dan/atau DPD,” pungkasnya. (rd)Editor : Pebri Mulya