POSITIF : Lisman Manurung (kedua dari kanan) bersama narasumber lainnya saat diskusi bertajuk ‘Siapa Penantang Kuat Petahana di Pilkada Depok 2020 Ditinjau Dari Perspektif Pers, Media, dan Masyarakat’, di sebuah kafe, kawasan Grand Depok City, Kecamatan Cilodong, beberapa waktu lalu. FOTO : RICKY/RADAR DEPOKRADARDEPOK.COM, DEPOK - Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Lisman Manurung menilai skema atau platform Walikota dan Wakil Walikota Depok ke depan, harus kolaboratif.
Hal tersebut disampaikan saat diskusi bertajuk ‘Siapa Penantang Kuat Petahana di Pilkada Depok 2020 Ditinjau Dari Perspektif Pers, Media, dan Masyarakat’, di sebuah kafe, kawasan Grand Depok City, Kecamatan Cilodong, beberapa waktu lalu.
“Kebetulan saya sedang mengajar dan meneliti tentang kolaborasi,” kata Lisman.
Menurut dia, Pemkot Depok tidak akan mampu bekerja seperti DKI Jakarta, dimana pelayanan masyarakat dilakukan oleh 70 ribu PNS, sementara di Depok hanya tersedia 8.000 PNS.
“Artinya perbandingannya 1:9, padahal penduduknya hanya 1:4, artinya skema kerja dari walikota kedepan adalah kolaborasi, tanpa harus memaksakan jumlah PNS bertambah,” papar Lisman.
Ia berandai-andai, kalau pun mau ditambah jumlah PNS, untuk mencapai jumlah ideal tentu membutuhkan waktu. Sebab, dalam tempo tiga tahun, paling cepat dapat bertambah 1.000 orang dan itu harus belajar dulu, bahkan selama tiga tahun pun bakal salah terus dan malah menjadi biaya tambahan.
“Dua tahun pegawai itu bikin pusing, disuruh ke sana, nanti malah dikerjakan yang lain, itu rugi saja. Tapi, kalau pemda itu komitmen untuk kolaborasi,” katanya.
Sedangkan, sambung Lisman, syarat kolaborasi, tetap leadernya adalah pemerintah, tapi tetap membuka hati kepada sektor private, terutama mendengar secara delibratif, seperti ketika ada warga yang mengeluh harus didengarkan dengan baik.
“Terlepas ada upaya konkrit atau tidak, setidaknya sudah didengarkan dan itu menurut saya sudah puas secara batin,” katanya.
Selain itu, Lisman melanjutkan, kota tidak mungkin bisa menyelesaikan transportasi jika tidak membangun Mass Rapid Transportasion (MRT). Sebab, tidak mungkin juga kendaraan pribadi sebagai moda di sebuah kota.
“Pemimpin harus bangkit dengan sistem angkutan transportasi mass, apakah itu busway dan lainnya. Harus diselesaikan secara kreatif, termasuk masalah persampahan,” ucap Lisman. (rd)Jurnalis : Ricky JuliansyahEditor : Pebri Mulya