Senin, 22 Desember 2025

Urusan Kamar Mandi Beralih ke Sungai, Petik Pelajaran Tentang Kejujuran

- Rabu, 28 Februari 2018 | 10:00 WIB
IST FOR RADARDEPOK
PEMBELAJARAN HIDUP: MGMP Bahasa Sunda Kota Depok saat berada di kawasan Kampung Gajeboh, Baduy Luar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten dalam program Lokakarya.

Suku Baduy, menjadi salah satu penduduk di Indonesia yang masih “Orisinil”. Meskipun lokasi tinggalnya jauh dari keramaian kota atau bahkan jalanan aspal, tetapi mereka mengerti benar bagaimana melestarikan dan bersahabat dengan alam. Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Sunda Kota Depok, menjadikan tempat tinggal Suku Baduy sebagai sasaran kegiatan Lokakarya. LAPORAN : Pebri Mulya

Sepi dan sunyi suasana Terminal Ciboleger di kawasan Bojong Menteng, Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Hanya ada segelintir mobil yang berbaris rapih di sekitarannya, tanpa ada pengemudinya. Tepat di tengah-tengah di terminal tersebut, ada patung keluarga petani yang terdiri dari ayah, ibu dan dua anak. Suasana hening pun pecah, saat datang tiga bis berukuran sedang yang masuk ke pelataran Terminal Ciboleger pada pukul 12:00. Satu persatu penumpangnya pun turun, mereka adalah Rombongan MGMP Bahasa Sunda Kota Depok. Terminal Ciboleger, jadi tempat terakhir mereka untuk menggunakan kendaraan, karena untuk mencapai destinasi berikutnya adalah dengan melangkah menuju Kampung Gajeboh, Baduy Luar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Setelah merapihkan persiapan, dan memastikan semua rombongan yang terdiri dari guru-guru Bahasa Sunda SD dan SMP, Kepala Dinas Pendidikan Kota Depok, Muhammad Thamrin, Kabid Pendas, Mulyadi, Pengawas SD, dan kepala SMP, perjalanan dengan jalan kaki pun dimulai, dengan komando dari Ketua Panitia, Anita Rohani. Tidak jauh memang untuk perjalanan dengan jalan kaki, yakni sekitar 3 kilometer. “Waktu yang dibutuhkan selama berjalan kaki 3 kilometer, adalah 2 jam, jadi pukul 14:00 kami sampai. Tetapi, rasa lelahnya tidak terasa, karena suasana alamnya benar-benar memuaskan mata dengan segala keindahan hutannya selama perjalananan,” ucap Anit. Usai menelusuri jalan setapak beralaskan tanah dan bebatuan yang dihiasi dengan ladang dan sungai di kanan-kirinya, tiba di sebuah jembatan bambu yang panjangnya, sekitar 10 meter. Uniknya jembatan bambu tersebut, tidak disusun dengan memaku untuk menyatukan tiap bambunya, tetapi mereka menggunakan tali akar untuk mengikatnya. Tidak jauh dari jembatan tersebut, dari sela-sela pohon bambu dan tanaman lainnya mulai tampak beberapa bangunan rumah. Saat mendekat, rumah panggung yang berbahan dasar dari bambu pun tampak secara sepenuhnya. Cukup sederhana rumah tersebut, dengan alang-alang kering sebagai gentingnya, kayu sebagai pondasinya, dan anyaman bambu sebagai temboknya.

“Tidak butuh waktu lama, setelah berkoordinasi dengan Jaro atau Kepala Adat Baduy Dalam yang bernama Ayah Mursid, kami pun diarahkan ke rumah-rumah penduduk untuk istirahat,” katanya. Rombongan menginap di rumah Arsid, salah satu penduduk Gajeboh. Sementara Ayah Mursid adalah penduduk dari Baduy Dalam ke Baduy Luar, karena tidak diperbolehkan masuk ke Baduy Dalam. Penduduk yang ramah dan murah senyum benar-benar menjadi karakter dari Suku Baduy. Apalagi, dengan tidak adanya pembatas antara rumah yang satu dengan rumah yang lain, menjadikan rasa kekeluargaan semakin terasa antar sesama penduduknya. Sore pun tiba, rombongan pun mulai mendapat jamuan yang sederhana, yakni ada rebus-rebusan dari hasil kebun, dan yang tidak ketinggalan atau unik dari Suku Baduy adalah kopi hitam yang dicampur dengan Gula Aren. Tetapi, penduduk Suku Baduy tidak menggunakan Bahasa Indonesia, mereka menggunakan Bahasa Urang Kanekes, jadi sebenarnya Bahasa Sunda, tetapi ada beberapa kosakata yang tidak ada di Bahasa Sunda pada umumnya. “Hanya Jaro-nya saja yang bisa berbahasa Indonesia,” katanya. Kegiatan pun dilanjutkan pada malam hari, suasana benar-benar hening, karena di kawasan Baduy Luar tersebut, tidak ada listrik. Pencahayaan hanya berasal dari obor api saja, tetapi itu menjadikan suasana lebih terasa di sebuah daerah yang masih bersifat “original”. Saat sampai di suatu rumah, Jaro, Ayah Mursid sudah ada didalamnya. Rombongan pun duduk bersila membentuk lingkaran dengan hidangan rebus-rebusan di tengahnya. Ayah Mursid mulai berbagi certa tentang kearifan budaya lokal Suku Baduy. ‘Mipit kudu amit, ngala kudu mènta, ngendag kudu bèwara’, artinya mengambil sesuatu, harus memohon izin terlebih dahulu, untuk menamkan nilai-nilai kejujurannya. Itu menjadi salah satu kata kunci dalam kehidupan sehari-hari di Suku Baduy. “Kejujuran menjadi keutamaan Suku Baduy, mereka orang yang memegang teguh sifat kejujuran,” terang Anit. Malam berlanjut, salah satu penduduk membuat malam menjadi semakin syahdu. Dia memainkan alat musik suling dan kecapi bersama teman-temannya. Iringan musik khas daerah Sunda, benar-benar menjadikan malam-malam berlalu dengan kesan yang baik. Perjamuan malam pun usai, satu persatu orang rombongan mulai masuk ke rumah penduduk untuk istirahat. Tetapi, istirahat ini jauh dari kata mewah, mereka harus tidur dengan beralaskan anyaman bambu dengan tidak ada bantal-guling ataupun selimut, rombongan benar-benar merasakan jadi orang Suku Baduy dalam kesehariannya. Hal itu berlanjut pada pagi hari, ternyata di setiap rumah di Suku Baduy tidak ada kamar mandi. Jadi, semua aktifitas di kamar mandi, dilakukan di pinggir sungai. Ini menambah pengalaman yang tidak biasa untuk rombongan dari Kota Depok. Mereka harus menyingkirkan rasa malu dan sungkan, dari pada harus menahan-nahan urusan di kamar mandi. Tepat pukul 09:00, rombongan dari MGMP Kota Depok pun harus berpamitan dengan penduduk Suku Baduy. “Selama dua hari, pembelajaran dari Suku Baduy adalah tentang pemahaman hidup terhadap alam, serta memetik pelajaran tentang falsafah kehidupan yang sederhana dan jujur,” jelasnya. (*)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X