Senin, 22 Desember 2025

Ini Penjelasan Agus Raharjo Adanya Skenario Upaya Pelemahan KPK

- Jumat, 6 September 2019 | 13:02 WIB
Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkapkan beberapa point revisi RUU KPK yang akan melemahkan secara total kewenangan lembaga antirasuah. FOTO : JAWAPOS.COM   JAKARTA - Langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ingin merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dianggap tergesa-gesa. Hal itu dikatakan Ketua KPK, Agus Raharjo, karena DPR periode 2014-2019 mewacanakan revisi UU KPK akan selesai pada tiga pekan. “Presiden jangan terburu-terburu mengirimkan surat, terkait RUU KPK secepat mungkin,” kata Agus di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (5/9). Agus meminta Presiden terlebih dahulu mendengar pendapat akademisi dan sejumlah pakar hukum dari banyak pihak mengenai RUU KPK, karena dirasa belum relevan untuk direvisi. “Jadi saya pikir kalau itu dilakukan, akan lebih arif sebelum presiden mengirim surat (ke DPR),” harap Agus. Mantan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) ini menyebut, RUU KPK dinilai akan melumpuhkan kinerja KPK. Terlebih tidak adanya kriteria perhatian publik sebagai perkara yang dapat ditangani KPK, dipangkasnya kewenangan pengambalian perkara di penuntutan serta dihilangkannya kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan. “Sembilan persoalan di draf RUU KPK berisiko melumpuhkan total kerja KPK,” tegas Agus. Agus menjelaskan, sembilan poin tersebut di antaranya, pertama soal independensi KPK terancam. Nantinya KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, sebab KPK dijadikan lembaga pemerintah pusat. “Pegawai KPK dimasukan dalam kategori Aparatur Sipil Negara atau PNS sehingga hal ini akan beresiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan,” ucap Agus. Selain itu, lanjut Agus, penyadapan yang dilakukan oleh KPK akan dipersulit dan dibatasi, lantaran hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari dewan pengawas. Sementara itu, dewan pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap tahunnya. “Selama ini penyadapan seringkali menjadi sasaran yang ingin diperlemah melalui berbagai upaya, mulai dari jalur pengujian UU hingga upaya revisi UU KPK. Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup,” tutur Agus. Tak hanya itu, adanya dewan pengawas yang dipilih oleh DPR dapat memperbesar kekuasaannya yang tidak hanya memilih pimpinan KPK, tetapi juga memilih dewan pengawas. Agus menyebut, dengan adanya dewan pengawas menambah tentu akan memperpanjang birokrasi penanganan perkara, karena sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus izin dewan pengawas. “Seperti penyadapan, penggeledahan dan penyitaan,” ujarnya. Tidak hanya itu, penyelidik dan penyidik KPK akan dibatasi. Agus menyebut, penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sedangkan Penyidik KPK berasal dari Polri dan PPNS. Hal ini pun bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperkuat dasar hukum bagi KPK dapat mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri. “Lembaga-lembaga KPK di beberapa negara di dunia telah menerapkan sumber terbuka penyidik yang tidak harus dari kepolisian, seperti: CPIB di Singapura, ICAC di Hongkong, MACC di Malaysia, Anticorruption Commision di Timor Leste, dan lembaga antikorupsi di Sierra Lone,” tegasnya. Upaya pelemahan juga terjadi pada penuntutan. Nantinya penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung. Hal ini beresiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara dan akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara. Segala cara dinilai akan memperhambat kinerja KPK, bahkan perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria. Padahal ini bertentangan dengan Pasal 11 huruf b UU KPK yakni, perkara mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat. “Padahal pemberantasan korupsi dilakukan karena korupsi merugikan dan meresahkan masyarakat dan diperlukan peran masyarakat jika ingin pemberantasan korupsi berhasil,” tegasnya. Selain itu, upaya pelemahan juga terjadi pada pemangkasan kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan. Agus menyebut, pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan untuk proses Penyelidikan. “KPK tidak lagi bisa mengambil alih penuntutan sebagaimana sekarang diatur di Pasal 9 UU KPK,” terangnya. Upaya kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan pun dihilangkan. Nantinya, KPK tidak lagi bisa melarang saksi maupun tersangka korupsi ke luar negeri, meminta keterangan perbankan, menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi dan meminta bantuan Polri dan Interpol. Terakhir, papar Agus, kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas. Nantinya, pelaporan LHKPN dilakukan di masing-masing instansi, sehingga hal ini akan mempersulit melihat data kepatuhan pelaporan dan kewajaran kekayaan Penyelenggara Negara. “Posisi KPK direduksi hanya melakukan koordinasi dan supervisi. Padahal selama ini KPK telah membangun sistem dan KPK juga menemukan sejumlah ketidakpatuhan pelaporan LHKPN di sejumlah institusi,” tegasnya. (jwp/rd)   Editor : Pebri Mulya

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X