Senin, 22 Desember 2025

Larangan Unjuk Rasa Saat Pelantikan Dianggap Tidak Biasa

- Sabtu, 19 Oktober 2019 | 13:00 WIB
BENTROK : Ribuan mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya turun ke jalan untuk menolak UU KPK dan pengesahan RUU KUHP. FOTO : AHMAD FACHRY/RADAR DEPOK   JAKARTA - Adanya larangan berunjuk rasa menjelang dan saat pelantikan presiden dan wakil presiden periode 2019-2024, menurut Analis politik Pangi Syarwi Chaniago adalah sesuatu yang baru sepanjang era reformasi. Pangi khawatir larangan dari kepolisian dengan alasan penggunaan diskresi bisa mengganggu iklim demokrasi di Indonesia. Apalagi jika alasan penggunaan diskresi terus dipakai, tak hanya 15-20 Oktober 2019. "Sebetulnya kalau dilihat fenomena yang ada, baru kali ini terjadi. Di pelantikan sebelumnya tak pernah dilarang. Kenapa harus ada kekhawatiran seperti ini, mungkin hanya Polri yang tahu," ujar Pangi. Direktur eksekutif Voxpol Center Research and Consulting ini menegaskan, dari sisi ketertiban dan keamanan, larangan yang ada memang tak masalah. Namun dari sisi kebebasan berpendapat menyampaikan aspirasi, memunculkan persoalan. Pasalnya, konstitusi menjamin kebebasan warga negara menyampaikan pendapat di muka umum. Karena menyampaikan pendapat di muka umum dilindungi konstitusi, maka menurut Pangi, mestinya diskresi kepolisian tidak sampai menghambat masyarakat melakukan aksi unjuk rasa. "Jadi intinya, kalau hanya dibatasi tidak boleh berunjuk rasa di sekitar Gedung DPR/MPR pada 15-20 Oktober, tidak terlalu masalah betul. Tetapi kalau terus berlanjut setelah 20 Oktober, tentu menjadi masalah besar," pungkas Pangi. (jpnn/rd)   Editor : Pebri Mulya

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X