Baca Juga: Kelurahan Pengasinan di Depok Darurat Peredaran Obat Ilegal
"Kontrolnya bisa dua. Pertama adalah di level proses pemilihannya. Ketika masyarakat anggap itu tidak baik, masyarakat bisa secara kolektif menolak dan tidak memilihnya," sebut Prof Kacung.
Namun masih ada kesempatan di tahap kedua, setelah terjadi pemilihan.
"Ketika calonnya itu sudah terpilih, bagaimana terjadi proses kontrol sehingga penyalahgunaan kekuasaan bisa dihindari. Dalam hal ini lewat DPR," imbuh Pro Kacung.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki fungsi pengawasan yaitu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang Undang, APBN dan Kebijakan Pemerintah.
Baca Juga: Diperbolehkan MK Kampanye di Lingkup Pendidikan, Bawaslu Tegaskan untuk Tetap Ikuti Aturan Main
"Kalau DPR-nya lebih kuat, harusnya kontrol kepada pemerintah harus lebih kuat," kata Kacung.
Lebih lanjut, Prof Kacung mengatakan, politik dinasti terjadi karena proses rekruitmen politik di dalam keluarga secara tidak demokratis.
"Proses rekrutmen politik dinasti itu dibangun dan dibungkus melalui pemilihan secara demokratis formal. Hal ini terlihat di sejumlah daerah. Misal, habis jadi kepala daerah, istri atau anaknya yang gantikan," jelas Prof Kacung.
Menurut dia, pengalaman di beberapa daerah di Indonesia ada contoh baik dan buruknya.
Baca Juga: Pesona Wayang Windu Panenjoan Pangalengan, Tempat Wisata di Tengah Hamparan Kebun Teh
Misalnya, di Banyuwangi, Bupati Azwar Anas digantikan istrinya.
"Sejauh ini jalannya pemerintahan oleh istrinya Pak Anas itu baik. Sementara contoh yang jelek misalnya di Bogor. Bupati Bogor pernah digantikan adiknya, dua-duanya tersangka korupsi." jelas Prof Kacung.
Sementara politik dinasti 'tingkat nasional' terjadi pada masa pemerintahan Presiden Jokowi.
Anaknya, Gibran Rakabuming terjun ke dunia politik, menjadi Walikota Solo, kini Cawapresnya Prabowo Subianto.