MENGGANGGU: PKL menjajakan dagangannya di Jalan Raya Margonda dekat terminal, Minggu (26/2). Keberadaan para pedagang ini membuat pejalan kaki menjadi terganggu. Ahmad Fachry/Radar DepokDi kota-kota besar seperti Depok, keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) tak sulit dijumpai. Para pedagang yang umumnya warga luar Depok paham bahwa mereka berjualan di lokasi terlarang. Mereka mengerti jika apa yang dilakukan telah melanggar aturan. Tapi para pedagang ini hanya mencari rezeki, untuk membeli sesuap nasi pemenuhan hidup sehari-hari.
Di tengah minimnya lapangan pekerjaan bagi masyarakat, mereka beralih mencari nafkah dengan berwira usaha. Seperti menjual makanan, minuman atau sekedar gorengan di lokasi-lokasi strategis jalur utama di Kota Sejuta Belimbing.
Namun, tidak jarang dari mereka yang menabrak aturan dengan berjualan di lahan milik pemerintah atau tidak sesuai peruntukannya.
Di Jalan Raya Bogor-Jakarta pada sisi timur atau jalur Jakarta menuju Kota Bogor, misalnya, sebelumnya tumbuh subur PKL yang menjajakan di kios-kios semi permanen atau memang dibangun permanen. Jumlahnya pun cukup banyak, 450 kios.
Pada akhir 2015, kios-kios di jalan lintas provinsi tersebut diratakan dengan tanah. Tetapi, dalam hitungan bulan, mereka kembali menempati lapaknya masing-masing. Ada penertiban lagi di pertengahan 2016. Namun, mereka juga kembali berjualan di lokasi tersebut.
Adanya lokasi PKL memang tidak hanya menguntungkan para penjual saja. Tetapi, menjadi ladang oknum keamanan yang mengambil jatah setoran tiap harinya.
Seperti penuturan HH yang berdagang kopi di Jalan Raya Bogor. HH mengambil lebih dari dua kios atau lapak dengan membayar Rp1,5 juta kepada oknum. Fulus yang dikeluarkan HH tentunya berbeda dengan pedagang baru yang ingin mengais rezeki di jalan tersebut.
“Karena sudah lama di sini, jadi segitu bayarnya (Rp1,5 juta untuk beberapa kios, red). Kalau orang baru satu tempat bisa dikenakan Rp1 juta," ungkap HH.
Setelah membayar uang lapak, per harinya para pedagang juga membayar jatah preman kepada oknum petugas trantib (begitu HH menyebut institusi oknum tersebut) dari kota, sebesar Rp5 ribu tiap sore hari.
“Kalau dagangnya siang, sebelum trantib-nya datang, nggak kena bayar. Itu dari Jatijajar sampai Cilangkap," kata HH, yang enggan menyebut oknum trantib penarik retribusi kepada para pedagang.
Menurut HH, berdagang di Jalan Raya Bogor-Jakarta sudah dibackup oleh trantib. Bahkan, kadang, saat malam hari, komandan oknum trantib datang sekedar meminta rokok gratis kepada pedagang.
“(Komandannya) memang sudah dua kali ikut menggusur. Tetapi untuk buka warung, nggak boleh bangunan permanen. Kata komandannya 'kalau mau gusur tergantung saya, jadi sekarang aman',” ungkap HH yang enggan memberikan nomor telepon oknum penarik retribusi.
Tidak jauh dari lokasi HH berdagang, ucapan yang sama dilontarkan Z. Ia menjadi anak buah salah satu bos aksesori motor yang membuka lapak di Jalan Raya Bogor.
Kata Z, dalam sehari, jika peruntungannya bagus dapat mencapai omzet Rp1 juta. Sehingga, uang yang disetor ke trantib sebesar Rp5 ribu tidak terlalu dipusingkan bosnya.
Setoran tersebut, kata Z, tidak termasuk sewa per bulan dan listrik yang dipakai. “Bukanya 24 jam nonstop, gantian sama teman,” katanya.
Pedagang lainnya, A, mengatakan, dirinya memang pernah berdagang di lokasi tersebut sebelum akhirnya dibongkar Satpol PP. “Setelah dibongkar saya kesulitan mencari tempat," tutur pedagang aksesori motor tersebut.
A ingin jika ditertibkan, pemerintah kota menyiapkan tempat yang layak untuk para pedagang, sehingga dapat berjualan lagi.
“Kami kan butuh makan, belum lagi anak yang sekolah, siapa yang mau bayarin," ujarnya.
Ia meminta agar pemerintah dapat mengizinkan dirinya dan pedagang lain menempati lokasi tersebut untuk berjualan, sehingga dapat membiayai kebutuhan keluarga.
“Memangnya kalau kami berjualan di sini mengganggu sekali, kan nggak. Kami cuma nyari uang buat makan kok,” kata warga Garut itu.
Selain di Jalan Raya Jakarta-Bogor, Jalan Raya Citayam tak lepas dari incaran para PKL. Di jalur penghubung Depok dengan Bojonggede, Kabupaten Bogor, tersebut, para PKL berjualan di atas trotoar.
“Di sini kan pinggir jalan, jadi banyak saja yang datang,” kata Haris (34) penjual Uli.
Haris mengaku dirinya merupakan warga asli setempat, maka dia bebas berdagang di jalur itu. Meski wajib mengeluarkan uang pelicin, namun pengeluarannya tidak sebesar jika sewa lapak di ruko atau di pasar tradisional.
“Saya bayar ke hansip di sini, per bulannya Rp200 ribu,” katanya.
Menurut dia, jika ada razia atau penggusuran, Haris selalu diberikan informasi. “Saya baru berjualan sekitar tiga bulan, belum pernah terjaring razia Satpol PP. Karena saya bayar, Satpol PP-nya sendiri yang kasih tahu. Kami menghilang sejenak, baru setelah itu kami berdagang lagi,” katanya.
Selain membayar Rp200 ribu, Haris mengaku harus merogoh kocek untuk menyewa listrik. “Kalau bayar listrik Rp50 ribu tiap bulan,” katanya.
Ketika Radar Depok berusaha mencari oknum yang melakukan penarikan uang kepada para pedagang, cukup sulit ditemui. Lantaran oknum tersebut hanya mau bertemu dengan orang yang sudah dikenalnya.
Sementara, pada saat masih menjabat Kabid Ketentraman dan Ketertiban Satpol PP Kota Depok, Welman Naipospos, yang kini bertugas menjadi Kabid Pengendalian Operasional Kebakaran dan Penyelematan pada Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan, tidak menampik adanya oknum Satpol PP yang melakukan kerja sama dengan para PKL.
“Sebelum kita bergerak kan ada intelijen kita yang bergerak. Tapi ketika ke lokasi, sudah sepi pedagangnya,” kata Welman.
Hingga pindah ke Pemadam Kebakaran, Welman belum bisa menemukan siapa oknum yang melindungi PKL. (cky/ade)