Ust. Achmad Solechan, Wakil Ketua PCNU Kota DepokOleh: Ust. Achmad Solechan (Wakil Ketua PCNU Kota Depok)
Seluruh jamaah haji tahun 2018 yang berjumlah kurang lebih 3 juta manusia telah menyelesaikan segenap ritual ibadah haji di tanah suci makkah mukaromah. Ibadah ini hanya bisa dilakukan setahun sekali dan di tempat yang khusus, tidak bisa di laksanakan dimanapun kecuali di mekkah. Haji ialah rukun kelima dari rukun islam. Karena terasa kelihatan keistimewaannya, maka ibadah haji atas berbagai kekhususan itu -tempat khusus, waktu tertentu, perlu kecukupan biaya – maka perlakuan terhadap rukun islam kelima ini begitu istimewa dan luar biasa.
Atas kemampuan bisa berangkat haji ke tanah suci ini, tak henti rasanya para jamaah jahi merasa bersyukur luar biasa karena mampu memenuhi panggilan Allah SWT. Ekpresi ini bisa terlihat dari segenap acara selametan dan tasyakuran yang dilakukan hingga segenap potensi dikeluarkan agar hajinya bisa berjalan lancar. Perlakuan wujud syukur bisa melaksanakan ibadah haji ini agak berbeda dan ada ketimpangan dengan perlakuan wujud syukur bisa melaksanakan rukun yang lain seperti shalat misalnya. Rasanya jarang dan tak pernah ada menampakkan nikmat dan syukurnya bisa shalat layaknya bisa haji.
Di tanah air kita Indonesia, persiapan dan segala daya seolah diperuntukkan untuk suksesnya pelaksanaan ibadah haji ini. Sejak semula, jauh hari sebelum keberangkatan ke tanah suci, para calon jamaah haji sudah disibukkan dengan berbagai macam kegiatan seperti mengikuti KBIH, beragam pertemuan dan pembekalan lainnya. Lalu menyiapkan acara walimatussafar, mengundang para tetangga, kolega, sahabat dan rekan untuk permohonan maaf dan meminta doa restu agar hajinya bisa berjalan lancar dan termasuk golongan haji yang mabrur. Belum lagi acara pelepasan di pendopo, asrama haji hingga bandara keberangkatan. Segala macam kesibukan dan beragam kegiatan itu tentu semata berharap dan didorong untuk hidup bahagia di akhirat kelak.
Sebagaimana disampaikan rasulullah SAW “wal hajjul mabruur laisa lahu jazaa-un illa Jannah”. Haji mabrur tak ada balasannya kecuali Surga. Maka, seluruh jamaah haji berjuang dengan semangat dan penuh keseriusan untuk mendapatkan haji yang mabrur. Dari segi amaliah ibadah, Haji tentu bukan ibadah yang menyulitkan. Ritual haji adalah ibadah laku atau amaliah. Dari awal sampai akhir berupa kegiatan fisik dan tidak ada bacaan-bacaan yang diwajibkan untuk dibaca. Ini berbeda dengan sholat, yang selain laku juga ada bacaan-bacaan yang wajib dibaca.
Ihrom cukup mengenakan pakaian, niat dan salat sunnah. Thowaf adalah berputar-putar mengelilingi ka’bah 7 kali dengan putaran berlawanan arah jarum jam. Dengan sekian banyak orang thowaf, rasanya tidak mungkin orang keliru berputar, karena pasti akan bertabrakan. Begitupun sa’i adalah lari-lari kecil anatar showa dan marwah yang jalurnya sudah diatur. Selanjutnya wuquf adalah berdiam diri di arafah yang merupakan inti dari ibadah haji.
al ahajju arofah. Berdiam diri, tentu sebagai laku kegiatan bukan pekerjaan yang sulit dan perlu latihan.. toh hanya sekedar diam. Begitupun menginap di muzdalifah dan mina. Berikutnya adalah melempar jumrah, adalah kegiatan melempar yang secara praktek sebagaimana sering dilakukan dalam kegiatan sehari-hari. Dan diakhiri dengan tahallul adalah tidak lain hanya mencukur atau memotong rambut.
Al hasil dari serangkaian cerita perjalanan ibadah haji tersebut, rasanya tidak ada yang sulit dan kelihatan sederhana. Karenanya haji adalah simbol dan perjalanan ruhani manusia. Seluruh rangkaian haji sarat makna untuk laku hidup sang hamba kepada sang pencipta. Bahkan ada riwayat saat nabi di tanya tentang kemabruran haji, jawaban nabi tidak berhubungan dengan thawaf, sai dan sebagainya namun terkait hubungan pergaulan dengan sesama jamaah yang beribadah, menebarkan salam dan pertolongan. Ibadah haji lebih banyak berbicara pesan dan simbol bagaimana berperilaku sebagai hamba kepada sesama dan penyerahan diri kepada sang khalik.
Putihnya kain ihram adalah simbol akan kain kafan yang kelak kita kenakan saat ajal tiba. Thowaf adalah bentuk ketaatan kita kepada sang pencipta dengan segala ketetapan dan keteraturan yang ditetapkanNya. Sa’i adalah proses ikhtiar dan permohonan ampun kepada Allah. Diriwayatkan dulu Siti Hajar berlari-lari kecil dari bukit showa marwah ini tatkala ditangisi Nabi Ismail yang kehausan minta air. Dan setelah selesai pada putaran ketujuh dibukit Marwah, Allah menganugerahi air zam-zam yang sampai sekarang bisa kita rasakan.
Sedangkan wuquf di arofah seringkali disampaikan bahwa ia adalah gambaran kecil dari suasana padang mahsyar kelak. Seluruh manusia dibangkitkan dan berkumpul dalam satu tempat di padang mahsyar. Maka berdiam diri wuquf di arofah adalah proses merenung, mengingat dan beristighfar atas masa lalu kita dan mempersiapkan bekal yang akan kita bawa kelak di akhirat. Jumrah adalah melempar segala hal keburukan dari kita, sebagaimana sejarahnya Nabi Ibrohim dulu melempar syetan yang menggoda saat hendak melaksakan perintah Allah untuk membunuh Nabi Ismail.
Segala sifat syetan yang melekat pada kita seperti sombong, ujub, semena-mena, iri, dengki, hasut dan lainnya hendaknya dibuang dan dijauhkan. Kembali patuh dan tunduk pada perintah Allah SWT. Dan tahallul yang mengakhiri ritual haji sebagai makna pembersihan diri dan hati. Berpasrah diri dan tunduk semata kepada Allah SWT.
Akhirnya, sebagai perjalanan ruhani, tentu ibadah haji tidak sekedar ibadah yang tampak secara dhohir sebagai ibadah laku saja saat pelaksanaannya, namun dampak dan atsar setelah berhaji adalah esensi dari ibadah haji itu sendiri. Hal ini akan tercermin dalam laku hidup sehari-hari setelah berhaji. Perilaku yang semakin memanusiakan manusia sebagai sesama hamba Allah dan semakin berpasrah diri kepada Allah sang kholik.
WaLlahu a’lam bishowaf. (*)