“Kampung kami ditelan bumi. Petobo tinggal kenangan. Kami butuh tempat tinggal.” Tulisan itu tertera di atas papan triplek bekas yang disandarkan ke pohon kecil di ujung Jalan Soeharto yang masih tersisa.
Jalan Soeharto memang melintasi kelurahan Petobo. Jalan itu kira-kira 90 persennya musnah bersama Petobo. Tulisan itu kemungkinan dibuat oleh warga yang selamat, yang rumahnya anjlok ke bawah jalan tetapi tidak 100 persen hancur.
Petobo. Hati ini menangis. Menangis. Membayangkan keceriaan anak-anak di Jumat petang itu. Membayangkan suasana dalam ribuan rumah penduduknya. Membayangkan anak-anak kecil, anak-anak remaja, dan jamaah masjid-masjid di situ sedang menuju masjid untuk menunaikan salat magrib di sore itu.
Membayangkaan orang-orang yang baru saja pulang dari kantornya, dari tempat tempat kerja lainnya, dari kebunnya. Lalu tiba-tiba malapetaka itu datang. Menggucang dengan dahsyatnya, menghempas dan menenggelamkan semua yang ada di situ. Hanya seketika, ribuan nyawa manusia terenggut dengan sangat tragis.
Petobo memang wilayah paling menyedihkan, dibanding Jono Oge atau pun Balaroa. Setinggi apa gelombang lumpur di situ pada saat malapetaka terjadi. Saat ini saja, gumpalan lumpur yang sudah mengering di beberapa titik, setinggi bukti. Lebih tinggi dari atap rumah satu lantai.
Penduduk Petobo pada saat malapetaka 28 September itu diperkirakan 11 ribu jiwa. Diperkirakan lebih dari separuhnya tewas. Lebih dari separuh yang tewas itu terkubur di wilayah itu. Terkubur bersama. Bersama anak, isteri, suami, ayah, ibu. Bersama semua harta-bendanya. Innaalillaahi wainnaa ilaihi raaji’uun. Sesungguhnya manusia itu datang dari Allah, dan kepadaNya ia kembali.
Saya datang ke situ Jumat pagi pekan lalu. Oleh teman-teman relawan, saya diminta membawa masker. Benar saja, Petobo sudah mengeluarkan bau tidak sedap. Kemungkinan berasal dari jenazah-jenazah yang terkubur akibat digulung gelombang lumpur. Juga bangkai hewan-hewan peliharaan yang tewas dihantam bencana 28 September petang itu.
Petobo. Kelurahan yang padat penduduk itu telah musnah. Wilayah 260 hektar lerbih itu tinggal sepenggal cerita. Tidak ada cerita seperti Hamka Daude di Jono Oge. Atau Alhizam di Balaroa. Semua yang harus bercerita tentang bagaimana bencana besar itu terjadi telah menemui ajalnya. Sebagian mereka lenyap ditelan bumi. Mereka pergi membawa cerita itu.
Dai arah Utara, dari tempat yang tinggi. Saya menyaksikan betapa Petobo telah musnah. Banyak orang datang ke situ. Dari kota Palu sendiri. Dari kota lain di Indonesia. Bahkan dari luar negeri. Ada beberapa dari Korea Selatan. Hanya bisa berdiri terdiam. Meneteskan air mata.
Peristiwa ini tidak bisa kita fahami hanya dengan pendekatan keilmuan. Pendekatan akademik. Tetapi kita harus mendekati peristiwa ini dari juga pendekatan ilahiyah. “Ini adalah kekuasaan Allah,” kata Yus Fitriyadi. Ketua STKIP Bogor dua periode itu memang saya ajak sebagai relawan Bogor dalam kerja kemanusiaan di Palu, Sigi dan Donggala. (*)