utama

Pemimpin yang Amanah

Jumat, 22 Februari 2019 | 10:40 WIB

Oleh : Zaimul Haq, M.Ag.
(Anggota JQH NU Depok)   Di tahun 2018 hingga tahun 2019 masehi mendatang, iklim politik Indonesia kembali dihangatkan oleh gelaran Pilkada serta Pilpres. Masing-masing calon kepala Daerah hingga calon presiden terus bergerilya demi meraih dukungan suara terbanyak dari rakyat. Beragam janji kampanye dan manisnya impian masa depan rakyat terus mereka tawarkan dengan sepenuh hati, meskipun setelah terpilih, pada akhirnya masyarakat akan bisa menilai antara pemimpin yang sungguh-sungguh berjuang untuk rakyat atau hanya sekedar alat untuk memperkaya diri sesaat. Sesungguhnya bila semua calon pemimpin kepala Daerah/Presiden menyadari, bahwa kepemimpinan mereka bukan hanya sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi juga merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Tuhan, atau dengan kata lain kepemimpinan adalah amanah dari masyarakat dan dari Tuhan. kepemimpinan juga menuntut keadilan, karena keadilan adalah syarat mutlak dari calon pemimpin. Lebih mengerucut lagi, seseorang boleh/berhak mencalonkan atau dicalonkan untuk menjadi pemimpin bagi orang banyak, manakala ia telah mampu memimpin dirinya sendiri. Sebab pada hakikatnya seluruh manusia adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Hal tersebut sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw. melalui riwayat Bukhari dan Muslim melalui jalur hadits Ibnu Umar. Maka seorang calon pemimpin harus lebih berhati-hati lagi manakala dirinya berharap menjadi kepala Daerah, karena semakin luas tanggung jawabnya, maka semakin berat dan luas pula persyaratannya. Karena pemimpin adalah cermin masyarakatnya, sekaligus dambaan mereka untuk mewujudkan aspirasi dan cita-citanya. Pemimpin yang baik dapat berperan besar daripada peran kitab suci dalam mendorng masyarakat kepada kejayaan, dan mencegah mereka dari kebinasaan. Maka seorang pemimpin yang sukses dan berhasil adalah yang tidak hanya mendapatkan suara terbanyak dari pemilihnya, tapi juga yang memiliki tiga aspek berikut Intelektual Kedalaman intelektualitas seseorang akan banyak mempengaruhi pola gerak; tindakan; kebijakan; keputusan yang akan diambil dalam mengatur jalannya roda kepemimpinan, karena pemimpin terbaik adalah yang bisa menentukan arah, menciptakan peluang, melahirkan hal-hal baru, terus berinovasi, kreativ, serta berjiwa visioner. Sebaliknya, kedangkalan intelektualitas seorang pemimpin hanya akan menghasilkan pola pemerintahan yang tidak terarah dan teratur. Emosional Seorang pemimpin yang baik dan handal adalah yang tidak hanya mengandalkan keilmuan, kepakaran dalam bidang tertentu, namun juga harus diimbangi dengan kamatangan emosional. Ini menjadi hal terpenting yang tidak boleh diabaikan oleh seorang pemimpin, karena yang mereka pimpin juga sama-sama manusia yang memiliki hati nurani. Seorang pemimpin yang tidak dapat mengatur emosinya hanya akan bertindak sesuai dengan kemauan diri sandiri dan golongannya tanpa mempedulikan baik buruknya bagi masyarakat banyak. Spiritual Sedang dalam konteks spiritual, penulis merujuk pada empat syarat pokok yang wajib terpenuhi, yakni: Ash-Shiddiq, yakni kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap, serta berjuang melaksanakan tugasnya. Al-Amanah, atau kepercayaan, yang menjadikan dia memelihara sebaik-baiknya apa yang diserahkan kepadanya, baik dari Tuhan maupun yang dipimpinnya sehingga tercipta rasa aman bagi semua pihak. Al-Fathanah, yaitu kecerdasan yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul mendadak sekalipun. At-Tabligh, yaitu penyampaian yang jujur dan bertanggung jawab atau dengan kata lain “keterbukaan”. Oleh karena itu, sebagai kepala daerah maupun pimpinan dalam lingkup tertentu yang memegang kuat akan tali agama untuk lebih berhati-hati dalam mengemban amanah rakyat. Rasulullah saw. mengingatkan semua pejabat yang terendah hingga yang tertinggi, bahwa: Jabatan adalah amanah dan ia akan menjadi kenistaan dan penyesalan di hari kemudian, kecuali yang menerimanya dengan hak serta menunaikannya dengan baik. Karena itu akan menyesal, bahkan celakalah seseorang yang dianugerahi amanah memelihara harta dan masyarakat, tetapi dia menghamburkan harta dan masyarakat. Dari sini, agama mengingatkan bahwa jabatan bukanlah keistimewaan, tetapi tanggung jawab; ia bukan fasilitas tetapi pengorbanan; ia bukan leha-leha, tetapi kerja keras. Contohlah kisah tentang Nabi Daud as. saat diangkat Tuhan menjadi khlifah/kelapa negara, maka pesan-Nya kepada nabi agung itu antara lain adalah Wahai Daud, Kami telah menjadikanmu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak janganlah mengikuti hawa nafsu (QS. Shâd [38]: 26). Dalam kisah yang lain, ketika Ibrahim as. diangkat oleh Tuhan, beliau berdoa agar negeri di mana beliau berada dianugerahi Allah stabilitas  keamanan serat kecukupan pangan, tetapi beliau memohonkan hanya untuk orang beriman, yakni yang seide dan seagama dengan nabi Ibrahim as. Permohonan beliau ditanggapi Allah bahwa yang tidak beriman pun harus memperoleh rasa aman dan menikmati kesejahteraan. Maka sebagai penutup, wajib bagi kita untuk memilih pemimpin yang memiliki kecerdasan, (intelektual, moral, spiritual), pengalaman, pengetahuan menyangkut tugasnya, serta perhatian kepada masyarakat, dan perbanyaklah bermusyawarah dengan mendorong setiap orang menyampaikan pendapatnya demi terciptanya kehidupan yang harmonis. (gun)

Tags

Terkini

Jangan Malas! Ayah di Depok Diminta Ambil Rapor Anak

Jumat, 19 Desember 2025 | 06:30 WIB

Buruh di Depok Ingin UMK Naik 6,5 Persen

Kamis, 18 Desember 2025 | 07:30 WIB

BPN Depok Sematkan Pin Emas Kepada Kejari

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:30 WIB