TETAP SEMANGAT : Saiman (43) penyandang disabilitas saat beraktifitas di tempat kerjanya di kawasan Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji, beberapa waktu lalu. FOTO : AHMAD FACHRY/RADAR DEPOKTUHAN Yang Maha Kuasa menciptakan manusia berbeda-beda, dari mulai fisik sampai psikis. Ada yang fisiknya sempurna, tapi psikisnya dibawah standar orang pada umumnya. Tetapi ada juga yang dari fisiknya kurang, ternyata menyimpan begitu banyak keistimewaan dalam dirinya.
Orang-orang seperti nomor dua ini sering disebut penyandang Disabilitas atau Difabel. Mereka pada umumnya kerap dipandang sebelah mata oleh manusia yang secara fisik sempurna. Mayoritas dari mereka tidak percaya diri, padahal dibalik itu semua kaum difabel memiliki kelebihan yang belum tentu dimiliki oleh manusia normal lainnya.
Seperti Cecep, Pria bertubuh tinggi ini merupakan warga Gang Bambu RT3/5 Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji Depok. Sepintas terlihat seperti orang normal, ketika dia duduk dipelataran rumah bersama orangtua dan teman sejawatnya. Namun, hal aneh mulai terlihat di salah satu bentuk fisiknya. Ya kaki kiri Cecep agak berbeda dari kaki kanannya, seperti bengkok. Sehingga sedikit menyulitkan dirinya untuk berjalan.
Karena keterbatasan fisik yang dimiliki, Cecep dahulu saat menginjak dewasa kerap kesulitan mendapat pekerjaan. Pria lulusan SMA Negeri 49 Jakarta tahun 1997 ini memiliki pengalaman pahit saat mencari pekerjaan. Setahun “nganggur” setiap hari hanya di rumah, makan dan tidur menjadi aktivitas rutin sehari-harinya.
Tepat paska kerusuhan 1998, Cecep semangat mencari pekerjaan. Satu persatu surat lamaran dia masukan ke gedung perkantoran di DKI Jakarta. Badan tegap dan semangat masih berapi-api, tidak membuat Cecep lelah walau dengan keterbatasan fisik yang dimiliki. Dulu mencari pekerjaan memang sulit setelah rezim Presiden Soeharto atau orde baru.
Para pemilik perusahaan saat menerima calon karyawan yang pertama kali dilihat tentu fisik. Sempurna atau tidak. Zaman itu masih menomorduakan kemampuan (skill). Malang nasib Cecep, dengan pakaian rapih bak “orang kantoran” dirinya malah mendapat penolakan dari perusahaan tersebut. Lagi-lagi karena fisiknya yang dianggap kurang sempurna.
Cecep tidak gentar, karena penolakan dari perusahaan pertama. Hati nuraninya berkata bahwa kesempatan emas ada di depan mata. Akhirnya dia kembali mengapply surat lamaran ke perusahaan milik negara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sistem rekrutmen pegawai disini melalui Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Lagi-lagi dirinya gagal untuk mendapatkan pekerjaan di instansi pemerintah tersebut.
Hatinya mulai goyah dan marah dengan keadaan yang diterimanya pada saat itu. Mau marah kepada Sang Pencipta pun tidak bisa, dia hanya meratapi nasib. Seteleh berbulan-bulan terpuruk, dia kembali bangkit. Karena sadar tidak memiliki keahlian apapun, akhirnya dia mencoba ikut bergabung dengan lembaga kursus desain.
Waktu itu Cecep masih berusia 20 tahun. Dia sangat giat belajar mendesain sampai akhirnya lulus dengan predikat terbaik dari lembaga kursus tersebut. Sejak saat itu mendesain jadi senjata baru untuk dirinya melanjutkan hidup. Tidak lama berselang, akhirnya Cecep keterima di sebuah perusahaan desain milik sang Kakak Ipar.
“Alhamdulillah dikasih kepercayaan untuk pegang percetakan Kakak Ipar, disitu saya mulai mengembangkan desain sampai sekarang,” kata Cecep.
Tahun ke tahun silih berganti kemampuan desainnya sudah tidak diragukan lagi. Cecep kini bukan hanya sebagai desainer di sebuah percetakan. Tetapi dia juga aktif di lingkungan rumahnya. Banyak kerajinan tangan dari hasil tangannya yang bermanfaat untuk masyarakat sekitar.
Termasuk dia juga aktif sebagai pelatih sepeda di komunitas ROAM UI. Bukan berarti karena kakinya yang sedikit tidak sempurna, malah mengartikan tidak bisa naik sepeda. Dia juga pernah bersepeda dari Puncak Bogor sampai Kota Depok.
Keterbatasan fisik sudah seharusnya tidak lagi jadi bahan ocehan dan bullyan masyarakat. Karena dibalik keterbatasannya itu, menyimpan sejuta keistimewaan yang mungkin tidak semua orang bisa melakukannya.
Di kota berikon belimbing dewa ini ada yang nasibnya sama seperti Cecep. Seorang difabel yang tidak pernah patah semangatnya untuk bekerja. Apapun dia lakukan demi menghidupi istri dan kedua anaknya. Dia adalah Saiman yang lokasi rumahnya dekat Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji.
Pria kelahiran Depok 43 silam ini sehari-harinya menjadi pegawai di PT Cahaya Mulia yang bergerak di konstruksi besi bahan bangunan. Disini dia menjadi sopir yang mengantar besi-besi koonstruksi bangunan ke seluruh penjuru Kota Depok dan sebagian Jakarta.
Sama dengan Cecep, pria paruh baya ini juga memiliki keterbatasan fisik tuna daksa. Kaki kanannya lebih kecil dibanding kaki kiri. Sehingga untuk berjalan pun kaki kirinya harus menopang dan bekerja lebih berat. Tidak main-main, walaupun kondisinya tidak sempurna. Bapak dua orang anak ini jago mengendarai mobil.
“Saya bisa mengendarai mobil sudah lebih dari 20 tahun,” ujar Saiman sambil memindai besi baja di tempatnya bekerja.
Dia mengadu nasib di perusahaan konstruksi ini sudah sembilan tahun. Sebelumnya pernah mencoba bekerja, tetapi selalu gagal akibat terhalang kondisi fisiknya. Karena sadar dengan kemampuan yang dimiliki hanya mengendarai mobil, akhirnya dia memutuskan bekerja sebagai seorang sopir.
Setiap hari Bang Mpe -sapaan akrabnya- bisa mengantar besi ke tujuh sampai delapan lokasi. Bukan hanya mengendarai mobil, dia juga mengangkat besi-besi itu yang berbobot hingga tujuh kilogram. Tanpa merasa kesulitan, dirinya tetap bekerja keras untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah.
“Kadang suka kesulitan saat mengendarai mobil, pas lagi ngerem mendadak kaki langsung mati rasa. Terpaksa ditopang pakai tangan kakinya untuk pindah ke pedal gas,” tutur Saiman dengan canda tawanya.
Jatuh bagun sudah ia rasakan selama hidup 43 tahun. Dari tidak bisa berjalan dari bayi sampai umur sembilan tahun, hingga bisa diterima kerja dan mampu menyekolahkan anak hingga SMA.
Selain menjadi Sopir di toko bangunan, Bang Mpe juga beternak kambing di rumahnya. Sudah ada 22 ekor kambing betina yang dia pelihara. Biasanya dijual pada saat momentum Idul Adha. Jadi disela-sela waktu kosong tidak mengirim barang (besi). Dia mengurus kambing-kambing kesayangannya tersebut.
“Kalau ada waktu luang pas lagi nggak antar barang, saya nyari rumput untuk ternak kambing di rumah. Karena dari ternak hewan kurban ini saya juga bisa menyambung hidup,” terangnya.
Setelah membuktikan kesuksesan bekerja walau dengan serba keterbatasan yang dimiliki. Saiman tidak malu lagi dengan perkataan dan pandangan mata orang lain tentang dirinya. Dia membuka mata manusia dengan hasil karyanya.(rd)Jurnalis : Nur Aprida SaniEditor : Pebri Mulya