PINGSAN : Salah satu jemaah korban First Travel, Sri Nurwati pingsan usai mendengar pemaparan majelis hakim bahwa putusan sidang gugatan perdata First Travel ditunda di Pengadilan Negeri Kota Depok, Grand Depok City, Senin (25/11). FOTO : AHMAD FACHRY/RADAR DEPOKRADARDEPOK.COM, DEPOK – Sidang putusan gugatan perdata aset First Travel di Pengadilan Negeri Kota Depok, pada Senin (25/11) ditunda. Alasannya, majelis hakim belum menyelesaikan musyawarah. Alhasil, para korban First Travel yang didominasi ibu-ibu histeris. Bahkan salah satu di antaranya jatuh pingsan. Teriakan Innalillahi dan Allahu Akbar menggema di ruang sidang hingga suasana menjadi riuh.
“Sidang putusan kami tunda, karena belum selesai melakukan musyawarah,” ungkap Ketua Majelis Hakim, Raymond Wahyudi, di PN Depok.
Jamaah korban First Travel, Zuherial mengaku, kecewa dengan ditundanya pembacaan putusan tersebut. Ia bersama rekan-rekannya mengajukan gugatan perdata First Travel kepada Andika Surachman, dan Kejaksaan Agung dalam hal ini Kejaksaan Negeri Depok.
Diketahui, selama persidangan banyak ditunda, bahkan saat pembacaan putusan juga ditunda. Zuherial berharap, putusan sidang yang akan dilakukan pada 2 Desember 2019, dapat dikabulkan.
“Kalau gugatan dikabulkan, maka saya akan melaporkan hal tersebut kepada Presiden Jokowi,” ujarnya.
Perkara yang urung dibacakan itu adalah perkara Perdata Nomor: 52/PDT.G/2019/PN.Depok. Tiga hakim sempat membuka sidang gugatan perdata aset PT First Anugerah Karya Wisata atau First Travel.
Tetapi tak lama atau setelah majelis berembuk, sidang beragendakan putusan tersebut diundur sepekan ke depan. Sidang perdata First Travel berlangsung di ruang utama Cakra, dengan Ketua Majelis Hakim Raymond Wahyudi, didampingi Hakim Anggota Yulinda Trimurti Asih Muryati, dan Nugraha Medica Prakasa.
Pihak penggugat dan tergugat pun menerima dan tak ada yang menyampaikan keberatan, sidang langsung ditutup oleh majelis dengan mengetuk palu sidang sebanyak tiga kali.
Sebagian jamaah korban First Travel yang hadir dalam sidang tersebut kecewa, bahkan salah satu jamaah mendadak pingsan.
“Allahuakbar, Allahuakbar, Innalillahi Wainnailaihi Rajiun, tolong, ada yang pingsan, ya Allah,” ucap seorang jamaah.
Sementara itu, Humas Pengadilan Negeri Depok, Nanang Herjunanto mengatakan, perkara perdata First Travel masuk dalam gugatan perbuatan melawan hukum bernomor 52/Pdt.G/2019/PN.Depok.
“Agenda sidang sudah masuk putusan Majelis Hakim,” singkat Nanang.
Terpisah, putusan Mahkamah Agung (MA) merampas aset First Travel untuk negara menjadi blunder. Sebab, aset-aset itu didapatkan dari uang 63 ribu jamaah yang belum berangkat hingga hari ini. Kisruh ini dibawa warga Sunter, Jakarta Utara (Jakut) Pitra Ramadoni ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pitra mengajukan judicial review (JR) pasal yang menjadi dasar hakim Pengadilan Negeri (PN) Depok-MA dalam memutuskan perampasan aset First Travel. Pitra menilai itu bertentangan dengan UUD 1945.
"Kita ajukan JR Pasal 39 KUHAP juncto pasal 46 KUHP. Pasal tersebut adalah dasar hakim Pengadilan Negeri (PN) Depok memutuskan perkara First Travel. Sehingga perlu kita uji lagi pasal tersebut karena bertentangan dengan UU dalam hal ini UUD 1945," kata Pitra, Senin (25/11).
Pitra yang juga pengacara itu mengacu pada pasal 28 H ayat (4) UUD 1945. Di mana dalam pasal itu menerangkan setiap orang berhak memiliki hak miliknya dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang. "Dalam pasal 28 D ayat 1 mengatakan setiap orang berhak atas jaminan perlindungan dan keastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum," kata Pitra.
"Sedangkan dalam pasal 28 H ayat (4) mengatakan setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Ini kan hak miliki korban," sambung Prita.
Pitra berharap pengajuan judicial reviewnya ini dikabulkan oleh MK. Dengan begitu, hasilnya dapat digunakan oleh jaksa untuk mengembalikan aset First Travel kepada korban.
"Dengan adanya JR bisa dipergunakan oleh jaksa dan terdakwa untuk mengambalikan kembali aset First Travel kembali," tuturnya.
Menurut Pitra tidak ada cara lain selain mengajukan JR ke MK. Dia juga berharap hasil JR ini akan menjadi pertimbangan MA untuk melakukan Peninjauan Kembali (PK).
"Kalau melakukan gugatan ke pengadilam negeri saya rasa itu hal yg sia-sia saja karena apa, karena sudah ada putusan yang final dan berkekuatan hukum tetap. Solusi terkahir itu hanya melakukan upaya hukum JR ke MK, agar menciptakan suatu novum atau bukti baru agar ditinjaunya putusan MA tersebut dalam peninjauan kembali," pungkasnya. (rd/net)Jurnalis : Rubiakto (IG : @rubiakto)Editor : Pebri Mulya