utama

UI Kritisi Relokasi Ibu Kota Negara

Rabu, 26 Februari 2020 | 08:55 WIB
KEBERSAMAAN : Para Pengisi Diskusi Nasional ke-7 terkait Pemindahan Ibu kota Negara, dengan tema Membangun Kualitas Kehidupan Sosial Budaya, yang diselenggarakan di Balai Purnomo Kampus Universitas Indonesia, pada Selasa (25/2). FOTO : TANYA/RADAR DEPOK   RADARDEPOK.COM, DEPOK ─ Rencana relokasi Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (Kaltim) jadi sorotan Universitas Indonesia (UI) Depok. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) bersama UI, mematangkan konsep dengan rembuk bersama bertajuk  Dialog Nasional VII Pemindahan Ibu Kota Negara. Rektor Universitas Indonesia (UI), Profesor Ari Kuncoro menyebutkan, dalam sejarah sejumlah negara yang berawal dari 'Dinasti Kekaisaran', pemindahan ibu kota merupakan hal yang biasa terjadi. Seperti Romawi, China (Tiongkok) hingga Korea yang kini terbagi menjadi dua negara yakni Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut). Saat terjadi pemindahan ibu kota, ada yang diberi 'label' sebagai ibu kota dan ada pula berlabel khusus yakni ibu kota musim panas. "Dalam sejarah dinasti-dinasti Kekaisaran Romawi, Tiongkok, Korea, pindah ibu kota itu biasa. Bahkan begitu pindah, itu bisa dinyatakan sebagai satunya ibu kota, satunya lagi ibu kota musim panas," ujar Ari, di Balai Purnomo Prawiro UI kepada Radar Depok, Selasa (25/2). Dia kemudian menyebutkan, Dinasti Joseun, sebuah dinasti di Korea yang didirikan oleh Taejo Daewangyang. Dinasti ini berlangsung selama 5 abad yakni sejak 1392 hingga 1897. Kemudian Joseun berganti nama menjadi Kekaisaran Korea Raya, hingga akhirnya punya dua ibu kota. Padahal sebelumnya, Joseun memiliki ibu kota bernama Hanyang yang akhirnya berubah nama menjadi Seoul. "Contoh adalah Dinasti Joseun, dia punya Pyongyang, punya Seoul, yang dulu namanya Hanyang, ini karena saya dulu sering nonton silat Korea," jelas Ari. Saat Korea pecah menjadi dua, maka Seoul pun yang sebelumnya berada di tengah, menjadi berlokasi di perbatasan antara Korut dan Korsel. "Tapi ketika (Korea) pecah, maka kita lihat bahwa Seoul itu ada di perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan, padahal tadinya di tengah-tengah," kata Ari. Begitu pula yang terjadi di China yang sebelumnya memiliki ibu kota Nanjing, kemudian dipindahkan ke Beijing dan bertahan hingga saat ini. Serta yang terjadi di Kekaisaran Romawi Kuno yang kini menjadi negara Italia, dulu memiliki ibu kota Konstantinopel, serta perubahan yang terjadi pada Dinasti Tang di China. Menurutnya, pemindahan IKN merupakan hal yang lumrah dialami banyak negara sejak zaman dulu. "Demikian juga untuk Tiongkok, ada Beijing, ada Nanjing. Romawi ada Roma dan Konstantinopel, waktu Dinasti Tang ada Chang'an ada Luoyang," papar Ari. Dia juga menyampaikan, munculnya kota ini akibat adanya dinasti atau kerapatan, guna mengehemat biaya transport. Serta mampu membuat saling betukar ide atau disebut aglomerasi, dan terus menjadi sumber pertumbuhan. Namun, kalau kota tersebut terlalu besar, akan menimbulkan ekstrenalitas negatif terhadap kota itu sendiri dan kota-kota lainnya. Seperti polusi, kemacetan, kebisingan, kejahatan, serta tata air. “Dalam hal ini peranan perguruan tinggi, yakni tata ruang, analisa spasial, tim asistansi perencanaan ekonomi daerah, Smart City dengan Transport Oriented Development (TOD),” bebernya. Namun, yang perlu diingat adalah jika kota terlalu besar dan padat, maka akan berdampak negatif bagi kota itu sendiri dan juga kota di sekitarnya. Seperti yang terjadi di Jakarta yang masih menjadi ibu kota Indonesia, kepadatan serta pembangunan yang begitu massive menjadikan Jakarta sebagai kota 'langganan banjir' dan berdampak pula pada wilayah penyangganya seperti Bekasi, Depok, Bogor, dan Tangerang. "Di kota, dia menjadi sumber pertumbuhan, tapi kalau kota menjadi terlalu besar, dia akan menimbulkan eksternalitas negatif terhadap kotanya sendiri dan kota lain misalnya banjir hari ini ya," tutur Ari. Oleh karena itu, ia menilai diperlukannya keseimbangan, masyarakat yang tinggal di kota tentunya harus memahami betapa pentingnya isu lingkungan. Keseimbangan antara pembangunan kota yang modern dengan kehidupan sosial budaya harus tetap dijaga. Contohnya, kebutuhan lahan pertanian maupun kawasan hijau tetap harus diprioritaskan karena ini akan membentuk keseimbangan ekosistem di kota tersebut. Dan ini pun ia harap diterapkan di IKN yang akan berlokasi di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (Kaltim), serta berkonsep smart, green, beautifut dan sustainable itu. "Sehingga kalau tidak hati-hati maka pulau Jawa akan menjadi semen semua, kalau begitu menanam padinya dimana? Makanya perlu keseimbangan," terang Ari. Sementara, Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas, Rudy S. Prawiradinata memaparkan, adanya Ibu Kota Baru tentunya memiliki visi Ibu Kota Negara baru, strategi pengembangan ekonomi Ibu Kota Baru dan Kalimatan Timur, sampai kebutuhan penyiapan serta pengembangan SDM dalam Ibu Kota Negara baru nantinya. “Visinya ada lima. Di antaranya, menjadikan simbol identitas bangsa; smart, green, beautiful, dan sustainable; modern dan berstandar Nasional; tata kelola pemerintahan yang efisien dan efektif; serta mendorong pemerataan ekonomi di Kawasan Timur,” tegasnya. Rudy juga memaparkan terkait Delineasi Wilayah Calon Ibu Kota Negara (IKN) Baru, yakni total luas wilayah IKN akan mencapai 256.142,74 hektar. Dan rencananya akan dibagi menjadi empat kawasan. Di antaranya, Kawasan Inti Pusat Pemerintahan seluas 5.644 hektar, Kawasan IKN 56.180,87 hektar, serta sisanya untuk Kawasan Perluasan IKN dan Kawasan Tahura Bukit Soeharto. Kawasan Tahura Bukit Soeharto dimasukkan guna menjamin kelestarian Kawasan Penyangga atau Konservasi di IKN,” paparnya. Masih di lokasi yang sama, Dekan FISIP UI, Arie Setiabudi Soesilo mengatakan, dengan diadakannya dialog ini, pemikiran-pemikiran bersama terkait aspek sosial budaya, dan pembangunan Ibu Kota Negara ini dapat terwujud. Bagaimana memiliki sebuah Ibu Kota Negara yang strukturalnya ideal, kualitas SDM yang baik, adanya kesetaraan hak antara penduduk Indonesia. “Kondisi struktural yang harmonis ini semoga bisa diciptakan juga di Ibu Kota Negara baru nantinya, serta kegiatan ini mampu memperkaya rencana besar yang akan kita wujudkan bersama,” tandas Ari kepada Radar Depok, Selasa (25/2). (rd)   Jurnalis : Tanya Audriatika Editor : Pebri Mulya (IG : @pebrimulya)

Tags

Terkini

Jangan Malas! Ayah di Depok Diminta Ambil Rapor Anak

Jumat, 19 Desember 2025 | 06:30 WIB

Buruh di Depok Ingin UMK Naik 6,5 Persen

Kamis, 18 Desember 2025 | 07:30 WIB

BPN Depok Sematkan Pin Emas Kepada Kejari

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:30 WIB