Ketua Satgas Covid-19 IDI Kota Depok, dr Alif Noeriyanto Rahman.
RADARDEPOK.COM, DEPOK – Pascakejadian pasien Covid-19 berinisial YS (53) yang diduga bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 13 RSUI, Kamis (3/9), membuat sorotan sejumlah pihak.
Ketua Satgas Covid-19 IDI Kota Depok, Dr Alif Noeriyanto Rahman mengatakan bahwa virus Covid-19 bisa memicu rasa cemas pada pasien. Kematian di depan mata dengan mudah bisa dibayangkan oleh mereka. Apalagi mengingat sampai sekarang belum ada pengobatan yang pasti untuk penyakit ini.
Ditambah, penyakit ini masih menjadi stigma di masyarakat sehingga apabila pasien sembuh pun dirinya tetap tidak mudah kembali ke lingkungannya. Hal ini lanjut Alif, tentu bisa menyebabkan depresi. Bagi masyarakat awam, pemeriksaan darah juga bisa dianggap suatu stresor tersendiri, karena hasilnya pasti hanya dua, membaik atau memburuk.
“Sebaiknya jika ada pasien covid-19 yang terindikasi depresi, lebih baik diberikan pendampingan psikiater. Psikiater berfungsi memberi pendampingan berupa psikoterapi supportif, pasien diberi motivasi dan obat untuk mengendalikan kecemasan serta ketakutannya,” ungkap Alif kepada Radar Depok, Jum’at (4/9) siang.
Ia menilai, kondisi pagi hari pasien covid-19 harus berolahraga dan sarapan. Seharusnya juga tidak digunakan untuk melakukan tindakan negatif.
Sementara itu, Psikolog Klinis, Eduardus Pambudi mengatakan, kejadian pasien bunuh diri dengan memecahkan kaca jendela dan nekat lompat dari gedung tinggi memang bisa digolongkan depresi berat. Namun, untuk analisa yang lebih tepat memang harus dilakukan assessment tersendiri.
“Faktor kehilangan pekerjaan juga bisa jadi membuatnya bunuh diri, makanya kita perlu lakukan investigasi secara mendalam,” ujarnya saat dihubungi Radar Depok, Jum’at (4/9).
Ketua Satgas Covid-19 IDI Kota Depok, dr Alif Noeriyanto Rahman.
Pendampingan pada pasien covid-19 bisa dilakukan secara individu maupun klasikal. Secara individu, pasien bisa dikonseling atau diajak bicara dari hati ke hati. Sedangkan klasikal bisa dengan cara memberikan aktivitas dengan tujuan terapeutik. Misalnya, bernyanyi bersama, focus group discussion dan pemberikan psikoedukasi. Tentunya ini tergantung situasi dan kondisi yang ada di dalam Rumah Sakit masing-masing.
“Support orang terdekat juga penting, minimal dari keluarga dan tetangga sekitar. Jika tidak memungkinkan, pasien bisa saja memanfaatkan aplikasi telekonseling gratis yang saat ini banyak bisa diakses dimanapun dan kapan pun,” pungkasnya. (rd/cr1)Jurnalis : YuniarEditor : Pebri Mulya