utama

Tawuran Bukan Akibat PJJ

Senin, 16 November 2020 | 09:12 WIB
Pjs Walikota Depok, Dedi Supiandi.   RADARDEPOK.COM, DEPOK – Efektivitas program Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) kini tengah menjadi sorotan masyarakat. Sebab, bukannya memudahkan anak dalam meraih prestasi, program ini malah dianggap menambah beban orang tua dalam mengajarkan anaknya. Terlebih, program ini juga sedang disoroti warga Depok karena kejadian tawuran anak usia pelajar yang telah merenggut beberapa nyawa, padahal saat ini sekolah tatap muka belum dilakukan. Pejabat sementara (Pjs) Walikota Depok, Dedi  Supandi mengatakan, kejadian tawuran pelajar di Depok tidak ada kaitannya sama sekali dengan program PJJ. “Saya kira PJJ dan Covid-19 ini hal baru. Sedangkan tawuran sudah ada sejak dulu,” kata Dedi kepada Radar Depok, Minggu (15/11). Pria yang juga menjabat Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Barat ini mengungkapkan, PJJ dilakukan guna mencegah penularan Covid-19 di lingkungan sekolah. Maka dari itu, siswa diwajibkan untuk belajar dari rumah dengan dampingan dari orang tua. “PJJ ini kan dilakukan dari pagi hingga siang hari, dan selalu ada tugas yang diberikan sekolah setiap harinya, sehingga murid–murid tidak akan melakukan hal lain di luar dari belajar saat PJJ,” tuturnya. Dia menjelaskan, kejadian tawuran beberapa waktu belakangan merupakan tanggungjawab besar orang tua. Sebab, kejadian tawuran yang terjadi rata–rata dilakukan saat malam hari hingga dinihari, dan bukan di saat jam belajar. “Kalau sudah di luar jam belajar, itu kan sudah menjadi tanggungjawab orang tua,” terangnya. Dalam pantuannya, Dedi mengatakan jika kejadian tawuran beberapa waktu belakangan juga bukan merupakan kategori tawuran pelajar. Sebab, beberapa diantaranya dilakukan anak usia pelajar yang sudah tidak lagi sekolah. “Ada juga pelaku tawuran yang sudah tidak bersekolah tapi usianya masih usia sekolah, dan ada yang sudah alumni tapi ikut tawuran,” bebernya. Pjs Walikota Depok, Dedi Supiandi.   Meski demikian, ucap Dedi, pihaknya tengah berkordinasi dengan berbagai pihak agar tawuran ini tidak terjadi lagi. Salah satu upaya dilakukan ialah dengan meningkatkan materi pendidikan karakter dalam PJJ, serta mengimbau orangtua murid untuk meningkatkan pengawasan kepada anak mereka. “Kami juga bekerjasama dengan intelejen daerah dan kantor Kementerian Agama di tingkat daerah untuk mencegah tawuran ini, khususnya pada lingkup siswa sekolah,” jelasnya. Sementara itu, Psikolog dari Universitas Pancasila, Putri Langka mengatakan, fenomena tawuran pelajar bisa disebabkan berbagai faktor. Faktor pelaku yang dalam hal ini adalah siswa remaja SMP-SMA (biasanya), sistem keluarga dan sekolah, serta aturan, sanksi. Dari segi remaja, banyak yang telah mengetahui bahwa saat ini mereka memang sedang dalam proses pencarian identitas, oleh karena itu mereka cenderung melakukan konfirmitas dengan kelompoknya, karena memiliki dorongan/keinginan yang besar untuk diterima/ jadi bagian dari kelompok. Dia menjelaskan, jika dilihat melalui perkembangan kognitifnya remaja sudah masuk pada tahap akhir perkembangan kognitif Piaget, yaitu tahap operasi formal. Dimana mereka sudah dapat berpikir baik secara konkrit dan abstrak. Namun demikian, karena kemampuan dalam pengelolaan emosi yang belum matang, mereka masih mudah dipengaruhi orang lain, sehingga seringkali pertimbangan mereka kurang matang. Oleh karena penerimaan menjadi unsur yang sangat penting, maka mereka sering mengesampingkan pertimbangan bahaya dan tetap bergabung dengan teman-temannya. “Oleh karena itu idealnya sangat penting bagi keluarga untuk menjadi tempat penerimaan bagi remaja. Agar mereka tidak mencari di luar atau minimal mereka akan sangat mempertimbangkan keluarganya sebelum memutuskan untuk bergabung,” bebernya. Dia menambhakan, Sekolah sebagai sistem pendidikan juga sebaiknya, merancang suatu program yag dapat membuat siswanya dapat terus produktif secara akademik dan non-akademik. Menurutnya, sekolah penting merancang suasana belajar yang menarik minat siswa untuk terlibat. Sekolah juga baiknya membuat program edukasi mengenai permasalahan remaja, sehingga para siswa memiliki tempat untuk bediskusi mengenai masalah-masalahnya. “Sekolah yang tidak berkejaran beradaptasi dengan cepatnya perubahan kebutuhan remaja akan kesulitan untuk menjauhkan siswanya dari kegiatan-kegiatan negatif. Apalagi  pada masa pandemi ini, dimana sebagian besar siswa ada di rumah, sangat mudah memicu mereka untuk terlibat tawuran, karena rasa bosan, frustrasi di rumah terus dan tidak ada saran menyalurkan energi,”bebernya. Pjs Walikota Depok, Dedi Supiandi.   Dia menambahkan, sanksi bagi pelaku tawuran tampaknya juga masih kurang dapat memberi efek jera, hal ini tentunya perlu dievaluasi ulang. Apakah perlu membuat program rehabilitasi dalam bentuk kerja sosial dalam waktu panjang. Sehingga para siswa ini dapat terus terpantau dan mungkin saja menemukan minat dan perasaan bermanfaat saat terlibat dalam kegiatan sosial. Terpisah, Kepala Bidang Sekolah Menengah Pertama (SMP) Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Depok, Mulyadi mengatakan, tawuran di Kota Depok tidak bisa terus menerus disangkut pautkan dengan ketidakefektifan proses Pjj. Walaupun durasi belajar antara Pjj dan tatap langsung berbeda. Menurut dia, Pjj yang ada di Kota Depok bisa dibilang sudah efektif. Karena para guru dan sekolah sudah dilatih tentang pelaksanaan Pjj. “Saat ini semua sekolah sudah menjalankan Pjj. Saya rasa tidak ada kendala juga berdasarkan laporan semua kepala sekolah,” tuturnya kepada Radar Depok. Dalam Pjj sendiri sudah disampaikan bahwa ada Peraturan Walikota (Perwal). Apabila anak atau pelajar harus berada di dalam rumah selama jam belajar berlangsung. Mulai pukul 07:00 WIB sampai dengan 12:00 WIB. Jadi, anak seharusnya tetap berada di rumah saat mengikuti Pjj dengan diawasi atau dipantau oleh orang yang berada di rumah, contohnya orangtua. Mulyadi mengatakan, semua hal berbau tawuran di Kota Depok tidak terlalu terkait apabila tawuran dihubungkan dengan Pjj. “Jangan karena Pjj jadi kemudian anak tidak terpantau oleh sekolah kemudian dianggap anak bebas, lalu terjadi seperti itu. Karen kan sekolah selau ada komunikasi dengan orangtua siswa terkait pemantaun kegiatan Pjj,” paparnya. Terkait dengan tawuran, harus dilaukan semua pengawasan dari berbagai pihak. Terutama orangtua dan lingkungan sekitar. Karena di masa sekarang ini, yang paling bisa memantau dan mengontrol dengan jarak dekat adalah orangtua dan lingkungan sekitar. Baru kemudian guru dan pihak sekolah. Apabila terdapat pelajar yang terindikasi tawuran, para masyarakat sekitar yang melihat bisa dapat melaporkan kepada orangtua ataupun sekolah terkait. Karena sekolah pasti akan langsung menangani hal tersebut apabila memang benar pelajar tersebut sudah ada indikasi melakukan tawuran. Pjs Walikota Depok, Dedi Supiandi.   Perlu diketahui, tingkat kehadiran para pelajar di Kota Depok sudah tinggi. Rata-rata kehadirannya mencapai 80 sampai 90 persen, bahkan ada sekolah yang sudah mencapai 100 persen. Hal tersebut menunjukkan keikutsertaan anak dalam Pjj ckup bagus dan efektif. Harapan Mulyadi adalah semoga pelajar Kota Depok dapat belajar yang baik di masa Pandemi Covid-19. Dan ada keseriusan dalam mengikuti Pjj. Serta harus punya rasa tanggungjawab dan mandiri agar materi yang diberikan oleh guru akan terserap. (rd/cr3/dra)   Jurnalis : Putri Disa, Indra Abertnego Siregar Editor : Pebri Mulya

Tags

Terkini

Jangan Malas! Ayah di Depok Diminta Ambil Rapor Anak

Jumat, 19 Desember 2025 | 06:30 WIB

Buruh di Depok Ingin UMK Naik 6,5 Persen

Kamis, 18 Desember 2025 | 07:30 WIB

BPN Depok Sematkan Pin Emas Kepada Kejari

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:30 WIB