utama

Pengamat : Ada 3 Faktor Netizen Indonesia Jadi Tidak Tersopan di Asia Tenggara

Sabtu, 27 Februari 2021 | 13:13 WIB
RADARDEPOK.COM - Laporan terbaru Digital Civility Index (DCI) yang mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia menunjukkan warganet atau netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara. Atau dengan kata lain, paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Dalam riset yang dirilis oleh Microsoft ini, tingkat kesopanan netizen Indonesia memburuk delapan poin ke angka 76, di mana semakin tinggi angkanya tingkat kesopanan semakin buruk. Survei yang sudah memasuki tahun kelima tersebut mengamati sekitar 16.000 responden di 32 wilayah, yang diselesaikan selama kurun waktu bulan April hingga Mei 2020. Ada tiga faktor yang memengaruhi risiko kesopanan netizen di Indonesia. Paling tinggi adalah hoaks dan penipuan yang naik 13 poin ke angka 47 persen. Kemudian faktor ujaran kebencian yang naik 5 poin, menjadi 27 persen. Dan ketiga adalah diskriminasi sebesar 13 persen, yang turun sebanyak 2 poin dibanding tahun lalu. Kemunduran tingkat kesopanan paling banyak didorong pengguna usia dewasa dengan persentase 68 persen. Sementara usia remaja disebut tidak berkontribusi dalam mundurnya tingkat kesopanan digital di Indonesia pada 2020. Menanggapi hal tersebut, Pengamat Psikososial dan Budaya, Endang Mariani mengatakan, penting untuk mengetahui metodologi dan analisis data, untuk menentukan apakah hasil penelitian dapat digeneralisasi. “Saya belum tahu pasti, teknik survei dan data yang digunakan oleh DCI. Tapi jika hasilnya demikian, maka saya berasumsi ada tiga faktor yang memengaruhi,” kata Endang. Menurut Endang, tak bisa dipungkiri penggunaan media sosial meningkat selama pandemi, termasuk di Indonesia, dan itu bisa berasal dari beberapa faktor. Ketidakpastian Faktor pertama adalah ketidakpastian. Situasi pandemi yang tidak pasti, membuat masyarakat mencari informasi dari berbagai sumber. Sehingga, jika terjadi kesimpangsiuran dan banjir informasi, mereka akan percaya pada apa yang diyakini. “Apalagi jika informasi berasal dari orang terdekat, tanpa melakukan cek dan ricek, akan langsung mem- forward apapun informasi yang diterima. Mata rantai informasi hoaks semakin panjang,” jelasnya. Kesulitan Ekonomi Faktor kedua yang disebut Endang adalah, kesulitan ekonomi selama pandemi, yang menjadi penyebab naiknya kasus penipuan. Menurutnya, sebagian orang akan mencari cara untuk mendapatkan uang, meski harus menipu orang lain. “Dari yang saya amati, banyak penipuan yang menggunakan alasan kesusahan, sementara di sisi lain, orang Indonesia terkenal dermawan. Salah satunya berdasarkan CAF World Giving Index,” ujar doktor lulusan Psikologi Universitas Indonesia ini. “Banyak orang segera mewujudkan keinginan memberikan pertolongan pada orang yang membutuhkan bantuan, tanpa menyadari adanya kemungkinan penipuan,” lanjutnya. Respons Rasa Frustasi Sedangkan faktor ketiga adalah rasa frustasi. Dituturkan Endang, ujaran kebencian di media sosial, bisa jadi merupakan respons rasa frustasi yang dialami selama pandemi. Selain menjadi bentuk luapan atau ungkapan emosional, ujaran kebencian dapat muncul dari dorongan untuk melampiaskan rasa frustrasi, “Harus ada yang disalahkan”. Dan siapa saja bisa menjadi sasaran. “Apalagi dalam dunia media sosial, seseorang dapat menyembunyikan identitas diri sebenarnya, seperti menggunakan nama samaran. Sehingga, lebih berani melemparkan kata-kata yang tidak pada tempatnya untuk membully pihak lain,” terangnya. (rd/net)   Editor : Pebri Mulya   https://www.youtube.com/watch?v=hjehHe52gxs

Tags

Terkini

Jangan Malas! Ayah di Depok Diminta Ambil Rapor Anak

Jumat, 19 Desember 2025 | 06:30 WIB

Buruh di Depok Ingin UMK Naik 6,5 Persen

Kamis, 18 Desember 2025 | 07:30 WIB

BPN Depok Sematkan Pin Emas Kepada Kejari

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:30 WIB