RADARDEPOK.COM – Niat baik pemerintah pusat soal pemerataan layanan kesehatan seperti akan timbul pro dan kontra, di Kota Depok. Pasien, rumah sakit (RS) dan dokter akan dibuat kelimpungan. Bila tak ada aral melintang awal 2022, BPJS Kesehatan bakal menghapus kelas pada BPJS Kesehatan, menjadi kelas standar. Sebanyak 23 rumah sakit di Kota Depok dipastikan mengikuti kebijakan baru tersebut.
Kepala BPJS Kesehatan Kota Depok, Elisa Adam memastikan, 23 klinik atau RS yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, harus menjalankan setiap kebijakan yang diputuskan. Saat ini pihaknya telah menargetkan tiga RS untuk bergabung bersama BPJS Kesehatan dalam melayani kesehatan masyarakat.
"Kalau sudah ada kebijakannya ya harus semua ikut, karena semua telah bekerjasama dengan BPJS. Kami akan menargetkan tiga RS untuk bekerjasama, sedang dilakukan komunikasi," jelasnya kepada Harian Radar Depok, Rabu (27/10).
Namun, kata Elisa, keputusan penghapusan kelas di BPJS Kesehatan masih belum final. Karena saat ini dalam kajian Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan berbagai pihak. Sehingga belum dapat memastikan akan bergulir kapan. Dipastikan kantor cabang selalu patuh akan keputusan maupun kebijakan di pusat, karena telah melalui kajian yang mendalam. "Kami di cabang menunggu kebijakan dari kantor pusat. Tentunya telah melalui tahapan dan kajian yang benar sehingga keluar kebijakan tersebut," papar Elisa.
Menimpali hal ini, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Depok, Sukwanto Gamalyono mengungkapkan, sebenarnya kebijakan itu akan timbul pro dan kontra. Lalu ada dampak pada masing-masing pihak, seperti masyarakat atau pasien (konsumen), RS, dokter. Tapi memang ini formulasi dari pemerintah untuk melakukan pemerataan layanan kesehatan, agar seluruh pelayanan sama rata tanpa pandang bulu.
"Kami akui ini menghilangkan hak konsumen atau pasien, hingga pihak RS harus merombak setiap kamar yang ada, terutama RS yang bekerjasama dengan BPJS," ungkapnya.
Gamal sapaanya membeberkan, hilangnya hak konsumen alias pasien karena tidak bisa memenuhi haknya, baik yang berekonomi mampu dan ekonomi tidak mampu. Misalnya, ada pasien yang mau di kelas 1 dengan isi kamar 3 sampai 4 pasien tapi tidak bisa karena ada pemerataan kelas.
Lalu, bagi pasien yang ekonomi kurang mampu dan telah nyaman dengan iuran BPJS setiap bulan, kemungkinan ada penambahan biaya iuran perbulannya. Sehingga mencederai hak pasien bila tidak bersedia menambah iuran perbulan, karena telah nyaman dengan pelayanan dan iuran selama ini.
"Pasti akan ada pro dan kontra. Yang di kelas 1 tidak bersedia menurunkan kelas kamarnya, dan yang di kelas 3 tidak bersedia menambah iuran. Secara tidak langsung telah menghilangkan hak konsumen seperti yang dijelaskan tadi," papar Gamal.
Namun, IDI Depok melalui kacamata Dr Gamal menyarankan, agar kebijakan pemerataan kelas BPJS diadakan pemberlakuan iuran dana. Nantinya, bagi pasien yang mampu berhak menambah biaya bila ingin naik ke kamar kelas 1, dengan menambah biaya sesuai harga kamar di RS. Lalu, bisa menambah kunjungan dokter, dengan menambah biaya juga seusai peraturan RS. "Kemungkinan itu solusinya. Tapi harus dicatat hanya untuk kamar dan kunjungan dokter. Soal obat tidak bisa, semua sama rata," tegasnya.
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) melakukan harmonisasi dan uji coba penerapan kelas standar BPJS Kesehatan secara bertahap pada 2022.
"Pada 2023-2024 bisa implementasi bertahap dan peninjauan peraturan dengan melihat beberapa lesson learn dari implementasi dan jika tidak ada perubahan, maka pada 2025 bisa langsung mengimplementasikan kelas standar tunggal," jelas Ketua DJSN Tubagus Achmad Choesni, belum lama ini.
Konsep kelas standar nantinya hanya akan terdapat dua kelas kepesertaan program, yakni Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan non-PBI. Segmen peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau mandiri akan tergolong sebagai non-PBI.
Berdasarkan kelas PBI dan Non PBI itu, ketentuan luas kamar dan jumlah tempat tidur tiap kamar akan berbeda. Dimana untuk kelas untuk peserta PBI, minimal luas per tempat tidur (dalam meter persegi/m2), sebesar 7,2 meter persegi dengan jumlah maksimal 6 tempat tidur per ruangan.
Sementara di kelas untuk peserta Non PBI, luas per tempat tidur sebesar 10 meter persegi dengan jumlah maksimal 4 tempat tidur per ruangan. Dalam pelaksanaan kelas standar nantinya, pemerintah ingin mengajak kerjasama asuransi swasta untuk melakukan sharing benefit atau berbagi keuntungan. Pasalnya kata Tubagus saat ini ada beberapa layanan yang belum bisa dicover oleh BPJS Kesehatan.
Oleh karena itu, kata Tubagus asuransi swasta berperan, agar masyarakat bisa memenuhi pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. "Ada koordinasi penyelenggaraan jaminan, kalau misalnya teman-teman peserta ingin menambah manfaat dengan asuransi kesehatan tambahan," jelas Tubagus.
Dihubungi terpisah, Anggota DJSN Muttaqien menjelaskan sampai saat ini pihaknya bersama otoritas terkait masih terus memformulasikan mengenai iuran BPJS Kesehatan jika nanti mulai diterapkan kelas standar. Saat ditanya apakah tarifnya akan pada kisaran Rp 50.000 sampai Rp 70.000 per bulan, Muttaqien belum bisa memastikan. "Ini sampai sekarang belum bisa dijawab. Karena masih menunggu finalisasi KDK Kemenkes," tandas Muttaqien.(arn/rd)