RADARDEPOK.COM - Setelah menjelajah Desa Salukanan dengan varietas beras terbaiknya Pulu Mandoti dan Desa Bone Bone dengan peraturan desa bebas asap rokok. Tim Gerakan Anak Negeri (GAN) Ekspedisi Tana Toraja melanjutkan perjalanannya menuju Tana Toraja. Ada beberapa destinasi yang bakal diekplore, di antaranya Pemakaman Londa, Kete Kesu dan Negri Diatas Awan, Lolai.
Laporan : Iqbal Muhammad, Depok
Waktu sudah menunjukan pukul 10:30 WIT di hari kedua ekspedisi Tana Toraja (1/6). Sepulangnya dari Desa Bone Bone dengan membawa sekarung beras isi 25 liter beras Pulu Mandoti, tim GAN bergerak menuju Tana Toraja Utara untuk mengeksplor destinasi berikutnya.
Perjalanan menuju Tanahtoraja melintasi jalan poros Enrekang-Makale selama 3 jam. Cenderung lebih bersahabat dibandingkan melintasi Jalan Poros Pinrang Enrekang yang jalannya sempit dan berlubang, bahkan di beberapa bagian jalannya rusak berat.
Baca Juga : Dari Baduy menuju Tana Toraja (2) : Desa Tanpa Asap Rokok, Kasatpol PP Kena Sanksi Rp3,5 Juta
Tujuan pertama di Tanah Toraja adalah Pemakaman Londa, destinasi ini merupakan kuburan yang identik dengan kematian. Dan hal hal menyeramkan lain yang bisa membuat bulu kuduk merinding. Tapi di pemakaman yang berada di Desa Sandan Uai, Kecamatan Sanggalangi, Kabupaten Toraja Utara, hal hal yang menyeramkan tadi berubah menjadi kagum akan pesonanya.
Londa merupakan salah satu destinasi wisata wajib bagi siapapun yang berkunjung ke Tana Toraja. Makam unik khas Toraja yang berada di sebuah bukit yang memiliki tebing curamdiatasnya berjejer peti mati (Erong). Belum lagi terdapat gua yang isinya tulang belulang, dan tengkorak manusia yang berumur ratusan tahun.
Memasuki kawasan wisata Londa pengunjung hanya dikenakan tarif Rp15.000 perorang. Kemudian kita berjalan menaiki tangga, dan melewati gapura masuk ke destinasi wisata kematian tersebut. Tiba di bawah tebing, kita disambut jajaran patung kayu yang biasa disebut Tau Tau.
https://www.youtube.com/watch?v=VxIzED5JjLM&t=239s
Patung Tau merupakan patung dari jenazah yang telah dimakamkan di Londa. Posisinya tepat diatas mulut gua, seperti beranda yang menyambut siapapun yang akan masuk gua. Patung itu dibuat sesuai dengan ukuran asli dan didandani seperti layaknya manusia masih hidup.
Tidak semua orang meninggalyang dimakamkan di Londa dibuatkan patung. Patung dibuat khusus golongan bangsawan, dan proses pemakamannya pun menggunakan proses adat paling tinggi yang bisa menghabiskan ratusan juta.
Memasuki gua yang memiliki kedalaman sekitar 900 sampai 1000 meter, kita akan disambut oleh tulang belulang dan ratusan tengkorak manusia yang berjejer tak beraturan di dinding gua. Ada juga puluhan Erong yang diselipkan di lubang lubang gua. Bahkan, ada Erong yang ambruk karena tiang penyangganya sudah lapuk.
Dalam pemakaman suku Toraja, keluarga akan mengisi Erong dengan berbagai barang berharga. Kemudian mereka meletakannya diketinggian sebagai upaya melindungi barang berharga tersebut.
Tak ada bau amis ataupun bau busuk ketika memasuki gua kematian tersebut. Bahkan, rasa takut yang membuat bulu kuduk merinding seperti kita memasuki daerah pemakaman pun tidak saya rasakan.
“Masyarakat Toraja berkeyakinan, jika semakin tinggi Erong maka semakin tinggi derajat orang tersebut atau orang yang memiliki kedudukan yang terhormat,” jelas pemuda yang menjadi guide sambil memegang lampu Patromak.
Semakin dalam masuk gua, kita harus melewati lorong sempit dan gelap, butuh perjuangan untuk melewatinya karena kita dipaksa merayap sepanjang 50 meter.
-
MENYERAMKAN : Iqbal Muhammad saat di pemakaman di Desa Sandan Uai, Kecamatan Sanggalangi, Kabupaten Toraja Utara.
Menurut informasi pemandu yang membawa kita ke dalam gua, di Objek Wisata Kuburan Londa. Hanya Marga Tolengke yang bisa dikuburkan disini, diluar dari garis Marga Tolengke harus dikebumikan ditempat lain. “Kuburan Londa ini juga merupakan kuburan keluarga terbesar di Toraja Utara,” jelasnya.
Setelah mengeksplore Londa, Tim Espedisi TanahToraja beranjak menuju Ke’te Kesu yang menjadi salah satu destinasi wisata wajib bagi siapapun yang berkunjung ke Tana Toraja.
Kete Kesu merupakan desa adat kuno yang ditetapkan sebagai cagar budaya Indonesia. Kete kesu bagai museum hidup dimana kita dapat merasakan budaya pertama dan tradisi masyarakat kuno Toraja. Menurut beberapa sumber, diperkirakan desa yang berada ditengah-tengah area persawahan ini telah berumur lebih dari 400 tahun.
Daya tarik desa kuno ini ada pada komplek “tongkonan” atau rumah tradisional masyarakat Toraja yang diatur dalam baris yang saling berhadapan dengan lumbung atau dalam bahasa Toraja disebut alang. Pada dinding Tongkonan dihiasi ukiran dan tanduk kerbau yang berfungsi untuk menandakan status pemilik rumah. Semakin sulit ukiran semakin mahal harga Tongkonan dan semakin banyak tanduk kerbau yang dipajang semakin menunjukan tingginya status sosial pemilik rumah.
Untuk membangun sebuah rumah tongkonan diperlukan upacara adat rambu tuka’ dimana tidak hanya merupakan tugas besar karena melibatkan semua anggota kelurga, tapi juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Fungsi rumah tongkonan selain sebagai tempat tinggal (sampai saat ini) dan penyelenggaraan acara adat tapi juga ‘rumah’ bagi jenazah sebelum prosesi rambu solo’.
Berjalan ke belakang area komplek tongkonan Ke’te Kesu ada sebuah bukit yang bernama “Buntu Ke’su” yang merupakan situs pemakaman kuno. Usia dari pemakaman kuno ini diperkirakan lebih dari 700 tahun. Di buntu ke’su ini kita akan menjumpai tengkorak-tengkorak manusia yang tidak lain adalah nenek moyang masyarakat Toraja. Pada dinding bukit terdapat sebuah gua yang didalamnya juga ada tau tau kuno berteralis besi.(Bersambung)