utama

Cerita Korban Tragedi Kanjuruhan : Separuh Paru-paru Febiola Penuh Flek Putih

Senin, 10 Oktober 2022 | 21:54 WIB
Febiola Rahmawati menunjukkan hasil rontgen paru-parunya yang menunjukkan banyak flek putih akibat menghirup gas air mata. (Aditya Novrian/Jawa Pos Radar Malang)

RADARDEPOK.COM - Setiap tujuh menit sekali, dada Febiola Rahmawati, 16, terasa sakit. Saat rasa itu datang, dada dan tenggorokannya serasa gatal dan memicu batuk. Febiola adalah salah satu korban tragedi Kanjuruhan.

Suara batuk yang keluar pun terdengar sedikit berbeda. Melengking seperti ada sesuatu di dalam saluran pernapasannya. Mirip seperti orang yang terjangkit bronchitis.

Ya, sisa gas air mata yang ditembakkan aparat keamanan saat tragedi Kanjuruhan pekan lalu masuk ke dalam paru-parunya.

Baca Juga : Dirut PT LIB Tersangka Tragedi Kanjuruhan Diperiksa Polri Besok

Parahnya, di separo paru-paru bagian kiri itu sudah muncul flek putih. Hasil rontgen tertanggal 6 Oktober di tangannya menjadi bukti bahwa gas yang mengandung zat kimia itu terhirup cukup banyak.

Kini, siswi SMKN 6 Malang itu hanya bisa beristirahat di rumah selama sepekan. Dia yang seharusnya bisa kembali ke sekolah, terpaksa izin untuk sementara waktu. Baginya itu tak masalah. Sebab, dia harus pulih 100 persen terlebih dahulu.

Rasa trauma memang masih menghinggapi Febi, sapaannya. Bagaimana tidak, dia yang menonton laga Arema FC kontra Persebaya Surabaya itu menjadi saksi gas air mata mendarat di tribun selatan. Febi yang menonton dengan pamannya ikut panik. Saking paniknya, dia sempat pingsan sebelum turun untuk keluar dari stadion.

“Waktu itu saya digotong paman dan temannya,” kenang warga Kelurahan Arjowinangun, Kecamatan Kedungkandang itu.

Baca Juga : Selesaikan Tragedi Kanjuruhan, GNK: Kapolri Harus Tegas

Saat sadar dari pingsan, Febi sudah melihat kepulan asap dari gas air mata. Mata pun jadi perih, membuatnya harus terus memejamkan mata.

Bahkan ada aroma seperti bubuk cabe yang cukup panas jika dihirup. Belum lagi teriakan anak kecil dan ibu-ibu membuatnya semakin panik. Dalam kondisi seperti itu, Febi hanya bisa terus menggenggam erat tangan sang paman. Jangan sampai lepas.

Satu momen lain yang juga disaksikan Febi, solidaritas Aremania untuk saling membantu sangat tinggi. Bahkan untuk meminimalkan efek gas air mata yang dirasakan Febi, ada satu Aremania yang mengoleskan pasta gigi ke kantung matanya. “Waktu itu rasa perihnya agak berkurang,” jelasnya.

Sayang, tembakan gas air mata yang terus membabi buta sempat membuatnya pingsan lagi. Paman yang selalu di sisinya terpaksa menggotong Febi keluar ke gate 13.

Setengah sadar dari pingsan kali kedia itu, Febi sempat melihat sejumlah Aremania yang jatuh. Bahkan tidur di lantai. Ternyata, apa yang dia lihat itu merupakan korban tewas karena terimpit.

Febi lolos dari tragedi itu karena keluar dari lubang ventilasi udara yang dijebol Aremania. Dia baru sadar penuh ketika berada di area parkir sepeda motor Stadion Kanjuruhan. Bingung, itu yang dia rasakan pertama kali setelah sadar bisa lolos dari maut.

Rangkaian kejadian sejak di dalam stadion hingga ke tempat parkir motor itu membuat Febi benar-benar lemas. Saking lemasnya, dia pingsan untuk ketiga kalinya dan baru terbangun saat sudah berada di rumah.

Nggak tahu ya, tiba-tiba sudah di rumah dan rasa sakit akibat gas air mata masih terasa tapi. Selama tiga hari berikutnya, sebagian mata saya masih merah. Seperti iritasi kena debu,” kata Febi.

Anak terakhir dari lima bersaudara itu sempat hanya diam sesampai di rumah. Bahkan sang ayah, Muhammad, baru mengetahui bahwa putrinya itu menjadi korban tragedi Kanjuruhan pada keesokan pagi. Kondisi kesehatan Febi yang semakin buruk terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit (RS).

“Saya berobat pakai BPJS Kesehatan milik bapak. Jadi rontgen sama obat gratis,” terangnya.

Hari kedelapan pasca-tragedi, Febi akhirnya bisa bersyukur masih bisa selamat. Dia juga merasa agak tenang lantaran sudah mendapat penjelasan dari dokter, bahwa flek di paru-parunya bisa sembuh total meski butuh waktu cukup lama.

Belajar dari kejadian itu, ke depan dia belum bisa memastikan apakah bisa kembali tribun untuk menonton sepakbola seperti dulu atau tidak. Sebab kejadian kelam itu membuat dia dan anggota keluarganya cemas.

Dari lubuk hati paling dalam, Febi memilih untuk gantung syal sementara waktu. “Masih bisa nonton di televisi. Apalagi bapak dan saudara pasti melarang saya (untuk nonton lagi langsung dari tribun),” katanya.

Febi hanya bisa berharap kejadian itu tak terulang kembali. Dunia sepak bola perlu ada perubahan. Baik secara keamanan hingga struktur organisasi. Apa yang diteriakkan suporter seluruh Indonesia kini benar, tidak ada sepak bola seharga nyawa.

Dia yakin badai akan berlalu. Tetapi luka itu masih membekas. Febi juga bertanya, mengapa aparat keamanan tega menembakkan gas air mata ke tribun di mana ada banyak anak kecil dan ibu-ibu?

Belum lagi pertanyaan yang menggantung, siapakah yang mengunci rapat pintu gate 13? Gerbang yang sekarang berbentuk seperti menjadi “kuburan” itu?. (rd/jun)

Sumber : Jawa Pos

Tags

Terkini

Jangan Malas! Ayah di Depok Diminta Ambil Rapor Anak

Jumat, 19 Desember 2025 | 06:30 WIB

Buruh di Depok Ingin UMK Naik 6,5 Persen

Kamis, 18 Desember 2025 | 07:30 WIB

BPN Depok Sematkan Pin Emas Kepada Kejari

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:30 WIB