Senin, 22 Desember 2025

Sudah Terlambat Bung!

- Jumat, 10 Maret 2017 | 11:03 WIB
Ricardo/JPNN.com RADAR DEPOK.COM, Jakarta – Nama Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi disebut memperoleh keuntungan hasil korupsi berjamaah dalam proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Tak tanggung-tanggung, JPU KPK menyebut Gamawan menerima aliran dana sebesar USD4,5 juta dan Rp50 juta. Uang itu hasil perbuatan dua mantan pejabat Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman dan Sugiharto. Hal itu tercantum dalam surat dakwaan JPU KPK atas Irman dan Sugiharto yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/3). "Selain memperkaya diri sendiri, perbuatan para terdakwa juga memperkaya orang lain dan korporasi sebagai berikut: Gamawan Fauzi sejumlah USD4,5 juta dan Rp50 juta," kata Jaksa Irene Putri saat membacakan surat dakwaan. Gamawan disebutkan beberapa kali menerima uang dari pengusaha rekanan Kemendagri, Andi Agustinus alias Andi Narogong. Pada Maret 2011, Andi memberikan uang kepada Gamawan Fauzi melalui Afdal Noverman sebesar USD 2 juta. "Dengan maksud agar pelelangan pekerjaan penerapan KTP berbasis NIK secara Nasional tidak dibatalkan oleh Gamawan Fauzi," papar Jaksa Irene. Selanjutnya, pada 20 Juni 2011, panitia pengadaan menyampaikan usulan penetapan pemenang pelaksana pekerjaan penerapan e-KTP tahun 2011-2012 dengan usulan pemenang yaitu Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), Lead Konsorsium Perum Percetakan Negara RI dengan harga penawaran Rp 5,84 triliun. Sementara pemenang cadangannya adalah Konsorsium Astragraphia, Lead Konsorsium PT Astra Graphia dengan harga penawaran Rp5,95 triliun. "Bahwa untuk memperlancar proses penetapan pemenang lelang, pada pertengahan Juni 2011 Andi Narogong kembali memberikan uang kepada Gamawan Fauzi melalui saudaranya yakni Azmin Aulia sejumlah USD2,5 juta," papar Jaksa. Beberapa hari kemudian, Gamawan menerima nota dinas dari ketua panitia pengadaan yang pada pokoknya mengusulkan Konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang pekerjaan proyek e-KTP. Berdasarkan usulan itu, Gamawan menetapkan Konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran Rp 5,8 triliun. Pengerjaan proyek e-KTP diduga terjadi penggelembungan harga (mark up) sehingga menyebabkan kerugian negara sebesarRp 2,3 triliun. Selain itu, Gamawan juga menerima uang sebesar Rp50 juta dari Irman. Uang itu merupakan bagian dari uang yang diperoleh Irman dari Sugiharto dalam masa pekerjaan proyek e-KTP secara bertahap. Uang itu diberikan kepada Irman secara langsung maupun tidak langsung dari vendor melalui Suciati yang seluruhnya berjumlah Rp1,37 miliar, USD77.700, dan SGD6.000. Selain itu, politikus Partai Golkar, Ade Komarudin (Akom) ikut terseret dan diduga ikut terlibat dalam korupsi proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik atau e-KTP. Saat dikonfirmasi, Ade mengaku tidak pernah menerima uang dari proyek yang diduga telah merugikan negara Rp2,3 triliun itu. Apalagi meminta uang dari mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemedagri, Irman. "Saya tidak pernah menerima uang, saya sudah klarifikiasi kepada KPK," ujar pria yang akrab disapa Akom dalam keterangan tertulis yang diterima JawaPos.com (Radar Depok Group), Kamis (9/3). Pada saat ketika dimintai keterangan oleh KPK, Akom mengaku tidak ada pertanyaan lebih lanjut menyangkut mengenal atau tidaknya kepada Irman pada saat itu. Karenanya, dakwaan yang dibacakan oleh jaksa diduga hanya hanya berdasarkan dari keterangan sepihak oleh Irman. Menurut mantan Ketua DPR ini, dirinya sejak awal tidak terlibat baik dalam hal perencanaan sampai dengan penentuan anggaran dan pelaksanaan proyek e-KTP. Dia mengatakan bahwa kapasitas dirinya pada saat itu hanya sebagai Sekretaris Fraksi bukan Ketua Fraksi, dan bukan juga sebagai Pimpinan atau Anggota Komisi II. "Saya tidak menerima uang dari hasil proyek e-KTP," katanya. Namun kendati demikian, Akom mengaku menghormati proses hukum yang sedang berlangsung di KPK, meminta kasus itu diselesaikan sampai tuntas. "Dan mari kita ikuti perkembangan persidangan secara seksama," tandasnya. Dalam kasus ini dugaan korupsi e-KTP yang telah merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun itu, lembaga yang dikepalai oleh Agus Rahardjo ini baru menetapkan dua tersangka dari pihak eksekutif. Keduanya adalah mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri (Kemedagri) sekaligus pejabat pembuat komitmen, Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemedagri, Irman. Terpisah, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bingung mengapa dirinya bisa disebut-sebut menerima uang sebesar USD 520 ribu dari proyek e-KTP dalam sidang perdana kasus korupsi tersebut di Tipikor. Dia lantas mempertanyakan detail bagaimana dirinya dikatakan bisa menerima fee proyek tersebut. "Jadi gini, angka itu ada nggak disebut di dakwaan, Ganjar menerima sekian, yang nganter ini, di tempat ini. Cuma angkanya (yang disebut). Sumbernya kita nggak tahu," tutur Ganjar saat dikonfirmasi, Kamis (9/3). Kalaupun mau berspekulasi dirinya mendapat data guna memuluskan proyek e-KTP, pasti dirinya mendapat fee. "Kalau ada bagi-bagi, Ganjar dapat jatah, cuma ini nggak nyampe ke Ganjar," tegasnya. Atau spekulasi lain, politikus PDIP itu memang menerima fee tersebut. "Tapi saya harus membantah sekarang karena saya tidak menerima," tuturnya lagi. Karena itu, Ganjar mempertanyakan siapa pihak yang menyebut bahwa dirinya menerima uang guna meloloskan proyek e-KTP pada 2011-2012 itu. "Makanya yang nyebut itu siapa? Itu pemberitaan darimana itu?" sambungnya. Sementara mantan pimpinan komisi II DPR itu membantah mengenal pengatur tender proyek e-KTP, Andi Agustinus. Dia baru mengenal pria yang kerap disapa Andi Narogong itu ketika dimintai keterangan KPK. "Enggak. Saya ditanya waktu menjadi saksi dimintai keterangan KPK. Dikasih fotonya malah, kenal enggak yang namanya Andi Narogong. Baru tahu (Andi saat) jadi saksi itu," pungkas Ganjar. Pengamat Politik Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Muchtar menegaskan sudah terbilang terlambat bagi 14 nama politisi jika baru sekarang mereka menyerahkan kembali uang gratifikasi ke KPK atas kasus e-KTP. Dia menyampaikan bahwa 14 nama tersebut mengembalikan ketika proses penyidikan di KPK sudah berjalan dan isu tersebut sedang ramai dibicarakan publik. "Mereka mengembalikan setelah ramai kan? Sudah ketahuan, baru mengembalikan. Ya bisa dibilang terlambat, karena baru sekarang mengembalikannya," kata dia di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (9/3). Zainal menambahkan, hal itu hanya akan mengurangi masa hukumannya saja, tidak menghilangkan tindak pidana mereka karena mereka setidaknya mengakui. Kecuali, kata dia, ketika penerima gratifikasi tersebut mengembalikannya ketika satu atau dua hari setelah menerima dana tersebut. "Toh, KPK juga tidak akan mengumumkan siapa-siapa saja yang mengembalikan gratifikasi. Sah saja kalau itu dilakukan maksimal 30 hari setelah uang itu diterima," ujarnya. Sehingga, bisa jadi, 14 nama tersebut tidak akan dikenakan hukuman tindak pidana korupsi jika mengembalikannya kepada KPK sebagaimana diatur dalam peraturan.(put/cr2/dna/net/JPG)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

Jangan Malas! Ayah di Depok Diminta Ambil Rapor Anak

Jumat, 19 Desember 2025 | 06:30 WIB

Buruh di Depok Ingin UMK Naik 6,5 Persen

Kamis, 18 Desember 2025 | 07:30 WIB

BPN Depok Sematkan Pin Emas Kepada Kejari

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:30 WIB
X