FOTO: Ust. Zaimul Haq, M.Ag, Anggota JQH NU Depok
Oleh: Ust. Zaimul Haq, M.Ag
(Anggota JQH NU Depok)
DEPOK - Tidak terasa sebentar lagi umat Islam di seluruh dunia akan kadatangan tamu agung tahunan, yakni bulan suci Ramadhan yang tinggal beberapa hari lagi. Beraneka ragam cara dilakukan oleh sebagian besar umat Islam, seperti pawai obor keliling, karnavalan, berziarah kepada kerabat yang telah meninggal dunia, saling kirim makanan kepada tetangga sekitar, saling bermaaf-maafan satu dengan yang lain, dan tradisi lainnya yang telah menjadi adat budaya turun temurun.
Semua tradisi di atas yang telah menjadi bagian dari budaya di Indonesia pada khususnya, mencerminkan satu nilai ruhani yang bersifat universal, yakni usaha bersama untuk menghangatkan kembali hubungan baik antar sesama sebelum memasuki bulan suci ramadhan. Dalam istilah umum, hal ini biasa kita kenal dengan silaturrahmi.
Sebelum kita memahami secara luas tentang makna silaturrahmi, ada baiknya kita pahami dulu arti dari kata silaturrahmi itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ini diartikan dengan “persahabatan (persaudaraan)”. Sedang dalam bahasa aslinya (Arab), kata ini adalah gabungan dari dua kata yakni shilah dan ar-rahîm. kata shilah adalah bentuk mashdar dari kata washala yang berarti “menghimpun sesuatu dengan sesuatu yang lain sehingga ia mengikatnya”. Sedang kata ar-rahîm oleh banyak pakar bahasa Arab diartikan dengan “peranakan”, lebih lanjut oleh almarhum Syekh Hasanain Makhluf (mantan Mufti Mesir) dimaknai dengan rahmat (kasih sayang).
Dari makna kata shilah dan ar-rahîm di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa silaturrahmi hakikatnya adalah sebuah usaha bersama untuk saling merekatkan kambali hubungan yang mungkin sebelumnya pernah terputus, sehingga nantinya kita bersama-sama menjalankan ibadah ramadhan dengan sepenuh hati.
Mungkin sebagian besar masyarakat berasumsi bahwa silaturrahmi hanyalah sekedar menyambung tali hubungan dengan keluarga; kerabat; sahabat yang telah berjalan dengan baik, padahal sesungguhnya yang di maksud adalah menyambung kembali tali hubungan kepada pihak lain yang sebelumnya pernah terputus oleh sebab tertentu, dan ini tidak semua orang dengan mudah melakukannya, hanya mereka yang memiliki sikap lapang dada yang mampu menyambung kambali tali hubungan tersebut.
Dan ini dijelaskan langsung oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya, “Bukanlah yang melakukan silaturrahmi siapa yang membalas (menjalin hubungan yang telah terjalin), tetapi dia adalah siapa yang diputus hubungannya dia menyambungnya”. (HR. Bukhari melalui Abdullah bin ‘Amr).
Ada dua hal yang digarisbawahi oleh Rasulullah saw. menyangkut daya guna silaturrahmi melalui sabdanya, “Siapa yang senang diperluas rezekinya dan diperpanjang umurnya, maka hendaklah dia silaturrahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
panjangnya usia bisa dipahami bukan saja dalam arti kelanjutan nama baik setelah kematian, atau keberkahan hari-harinya saat hidup di dunia, tetapi juga penambahan bilangan hari-hari saat keberadaannya di pentas bumi. Demikian juga tentang tambahan perolehan rezeki, bukan sekedar keberkahannya, tetapi juga perolehan dan penambahannya secara material. Oleh karenanya, silaturrahmi yang menghasilkan hubungan harmonis dapat mencegah stress (yang merupakan salah satu penyebab kematian). Ia dapat melahirkan ketenangan.
Di sisi lain, dengan terjalinnya hubungan yang harmonis, maka akan semakin banyak peluang kerja sama dalam berbagai bidang, dan ini pada gilirannya akan mengundang rezeki material dan spiritual.
Oleh karena itu, silaturrahmi sangat erat sekali kaitannya dengan perdamaian antar sesama, terutama di kalangan umat Islam. Di dalam Al-Qur’an sendiri, Allah Ta’ala telah menegaskan hal tersebut dalam firman-Nya, “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. (Al-Hujurât ayat 10).
Kata ikhwah diterjemahkan sebagai saudara atau sahabat. Kata ini pada mulanya berarti yang sama, artinya persamaan dalam garis keturunan yang pada akhirnya membentuk persaudaraan. Namun dalam ayat di atas agaknya menjadi pengecualian yang mengisyaratkan bahwa persaudaraan yang terjalin antara sesama muslim adalah persaudaraan yang dasarnya berganda. Sekali atas dasar persamaan iman dan kali kedua adalah persaudaraan seketurunan, walaupun yang kedua ini bukan dalam pengertian hakiki.
Ayat di atas mengisyaratkan dengan sangat jelas bahwa persatuan dan kesatuan serta hubungan harmonis antar anggota masyarakat kecil atau besar akan melahirkan limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan dan kerekatan hubungan mengandung lahirnya bencana buat mereka, yang pada puncaknya dapat melahirkan pertumpahan darah dan perang saudara.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk memutuskan hubungan persaudaraan itu, lebih-lebih lagi jika masih direkat oleh persaudaraan sebangsa, secita-cita, sebahasa, senasib dan sepenanggungan. (*)
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Terkini
Minggu, 21 Desember 2025 | 20:27 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 13:41 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 07:00 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 06:30 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 06:00 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 18:26 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 18:06 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 07:30 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 07:00 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 06:30 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 06:00 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 22:41 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 15:10 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:30 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:00 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 07:30 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 07:00 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 06:30 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 06:00 WIB
Selasa, 16 Desember 2025 | 20:14 WIB