Napian, Pemerhati Budaya
DEPOK – Pengamen yang menggunakan Ondel-ondel dianggap bagai dua sisi mata uang yang berbeda. Satu sisi mengenalkan dan melestarikan budaya, di sisi lain mengurangi kesakralan dari budaya asli Betawi tersebut. Hal itu disampaikan Pemerhati Seni Betawi asal Kota Depok, Napian.
“Mereka sebenarnya syiar, tapi saya masih separuh hati, antara suka atau tidak. Malah cenderung ke tidak suka, karena dibuat mengamen dan meminta-minta,” kata Napian kepada Radar Depok.
Menurut pria yang akrab disapa bang Pian, nilai budayanya justru dirusak oleh kepentingan beberapa orang yang mencari keuntungan pribadi. Bang Pian yang juga tokoh masyarakat di RW03 Kelurahan Meruyung, Cinere dan juga Silat Kampung Sera Kombinasi ini mengungkapkan, pada dasarnya Ondel-Ondel digunakan untuk mengusir roh-roh jahat, dan untuk menerima tamu.
Di Ondel-Ondel sendiri ada dua muka, pertama yang laki-laki dengan muka merah maksudnya untuk mengusir roh jahat, sedangkan yang perempuan putih. Bertujuan sebagai penerima tamu atau lambang kebajikan.
“Sebenarnya itu tradisi dan ada tata cara memainkannya, diperuntukannya juga untuk apa. Mungkin dulu buat hajatan, hiburan atau pesta rakyat, ketika habis panen Ondel-ondel itu diarak mengiringi hasil panen. Sekarang kan jadi malah dirusak, dibuat ngamen tiap hari, ini yang saya bilang nilai sakralnya berkurang,” paparnya.
Ia menilai, saat ini kebanyakan orang sudah mengenal Ondel-Ondel sebagai ikon orang Betawi, baik orang Jakarta, Jawa Barat atau menyeluruh di Indonesia. Namun, meski sudah dikenal, generasi penerus orang-orang yang memainkannya malah berkurang. Bahkan, generasi muda saat ini lebih memilih mengikuti budaya barat dengan kecanggihan teknologinya.
“Siapa yang tidak main gadget saat ini, seluruh orang pakai HP kan, tapi kalau untuk melestarikan budaya hanya segelintir saja. Hanya mereka yang benar-benar cinta dan dari keturunan langsung pemilik sanggar, itu pun tidak semua mau,” terangnya.
Untuk itu, ia meminta kepada pemerintah agar memperhatikan sanggar-sanggar seni, khususnya yang berkaitan dalam upaya pelestarian kebudayaan asli bangsa Indonesia. Sehingga, tidak tergilas oleh zaman. “Bisa saja diberikan pembinaan, bantuan alat atau memberikan porsi untuk tampil dalam acara-acara pemerintahan, baik untuk menyambut tamu atau rutin mengadakan festival budaya,” ucap Pian.
Sejarawan JJ Rizal menilaikan, sebelum dijadikan sebagai ikon budaya, Ondel-ondel dulu sering keluar masuk kampung untuk menghibur masyarakat dan kedatangannya juga dipercayai menghilangkan bahaya serta kejahatan yang mengancam atau melanda kampung tersebut.
“Secara kultural Ondel-ondel selalu keluar masuk kampung dan disawer karena kepercayaan akan jasanya menolak bahaya dan kejahatan yang mengancam atau tengah terjadi di kampung itu,” kata Rizal kepada Radar Depok.
Dengan penampakannya yang besar, dan wajahnya yang seram, ondel-ondel mampu mengatasi kejahatan yang kerap melanda kampung pada zaman dahulu. “Emang begitu dulu praktiknya, jadi bisa dikatakan itu salah satu upaya pelestarian budaya,” ujar Rizal.
Rizal menjelaskan, terdapat dua versi asal-usul ondel-ondel. Pertama, ondel-ondel sebagai penolak bala. Ia dipercaya sebagai personifikasi nenek moyang untuk mengusir gangguan roh halus. Itulah alasan rupa ondel-ondel zaman dulu dibuat menakutkan dan bercakil.
“Kala itu, karena keterbatasan ilmu kedokteran, penyakit cacar dianggap sebagai bala. Ondel-ondel yang dipercaya berkekuatan magis diarak untuk mengusir penyakit epidemi tersebut,” jelasnya.
Kemudian, pemanfaatannya berkembang sebagai pelindung dari segala sesuatu yang mengganggu ketenangan masyarakat. Ia digunakan dalam perayaan upacara adat seperti sedekah bumi, atau bagian dari beragam upacara seperti pernikahan dan sunat. “Versi lainnya, ondel-ondel sebagai manifestasi Dewi Sri, Dewi Kesuburan,” ungkap Rizal.
Karena fungsi sakralnya, ondel-ondel kala itu dibikin dengan mantra dan sesaji. Setelah itu masyarakat percaya, ondel-ondel akan dimasuki dewa penolong. Sehingga untuk melawan dan mengusir roh-roh jahat, mereka harus dipikul dan diarak berkeliling kampung. Warga juga diminta menabuh kentongan, memukul pohon-pohon besar, serta memasang sesaji pada tempat keramat. “Jadi, hakikatnya ondel-ondel memang mengamen. Keluar masuk kampung karena fungsinya sebagai tolak bala,” tegas Rizal.
Ia melanjutkan, kampung yang dilalui ondel-ondel akan berterima kasih karena dijauhkan dari bala. Atas jasanya, ondel-ondel lalu disawer, uang atas jasa pengamanan spiritual. Sehingga bisa dikatakan, maraknya ondel-ondel ngamen, justru mengembalikan tradisi awal ondel-ondel. “Karena ketidakpahaman tradisi, sejarah, serta pandangan konsep adiluhung budaya, maka ada respons seolah-olah itu merendahkan, padahal itulah tradisinya,” kata Rizal.
Terpisah, warga Kelurahan Baktijaya, Anggiat Sulaiman menilai, keberadaan pengamen Ondel-ondel sebagai inovasi positif. “Minimal, ondel-ondel telah memberi hiburan bagi anak-anak dari kalangan ekonomi menengah kebawah,” ujarnya kepada Radar Depok, Sabtu (28/7).
Senada disampaikan warga Kelurahan Bedahan, Kecamatan Sawangan, Muhammad Dennis Fiqih. Menurutnya mengamen menggunakan ondel-ondel telah berperan melestarikan budaya lokal Betawi yang mulai dilupakan masyarakat. “Terlebih, di tengah pesatnya arus modernisasi sekarang ini,” ujarnya.
Sebaliknya, tokoh pemuda dari Kelurahan Pondok Cina, Hendra justru melihat gaya mengamen ini sebagai inovasi yang negatif. Sebab, selain bunyi musiknya yang mengganggu pendengaran warga, juga mempekerjakan anak di bawah umur. ”Kenyataan ini cukup bertentangan dengan visi Kota Depok menjadi Kota Layak Anak,” serunya.
Sementara, Ketua Tim Penggerak PKK Kelurahan Tanah Baru, Frina Shaurin menegaskan, menggunakan ondel-ondel untuk mengamen bukanlah cara yang tepat untuk melestarikan budaya Betawi tersebut. Ia berharap alangkah baiknya kalau ondel-ondel dilestarikan dengan cara yang lebih elegan. ”Tidak dengan digunakan untuk mengamen di jalan,” katanya.
Menurut Frina, metode pelestarian Ondel-ondel sebagai sarana rekreasi memang efektif. Untuk itu, lebih baik jika pemerintah atau instansi lain yang peduli dengan budaya Indonesia memberikan pembinaan tentang metode itu kepada masyarakat. ”Tanpa harus mengamen,” pungkasnya. (cky/san/mg2)
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Terkini
Minggu, 21 Desember 2025 | 20:27 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 13:41 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 07:00 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 06:30 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 06:00 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 18:26 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 18:06 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 07:30 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 07:00 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 06:30 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 06:00 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 22:41 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 15:10 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:30 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:00 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 07:30 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 07:00 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 06:30 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 06:00 WIB
Selasa, 16 Desember 2025 | 20:14 WIB