JAKARTA - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terus terjadi kenaikan. Sore kemarin, nilai tukar sudah menembus level tertingginya dalam tiga tahun terakhir di posisi Rp14.844. Jika rupah sampai Rp15.000 bukan tidak mungkin akan terjadi moneter jilid II. Dari data perdagangan Reuters, Jumat (31/8). Sepanjang hari ini dolar AS bergerak di level Rp14.695 hingga Rp14.844.
Dari data RTI, angka Rp 14.844 semakin mendekati level tertingi nilai tukar dolar AS selama era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Angka ini kalah tipis dari rekor Rp14.855 yang terjadi pada 24 September 2015.
Ketua BPP HIPMI (Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), Anggawira menyatakan, depresiasi kurs rupiah terhadap dolar AS saat ini berbahaya dan dapat memicu terjadinya krisis moneter lagi.
“Kita tidak boleh menganggap enteng pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar saat ini yang menembus Rp14.725, hampir mendekati Rp15.000. Nanti jika pihak swasta yang meminjam anggaran negara dan pas jatuh tempo tak mampu membayar karena beratnya kurs. Ini sangat beresiko,” tutur Anggawira di Jakarta, Jumat (31/8).
Anggawira yang juga pengusaha ini pun menambahkan, pelemahan rupiah ini pun nantinya akan berimbas pada masyarakat. Ia merasa kekhawatiran masyarakat akan naiknya harga-harga bahan pokok tersebut dipicu oleh depresiasinya nilai tukar rupiah.
“Ya, saya khawatir. Namun, saya lebih mengkhawatirkan masyarakat kita karena harga-harga bahan pokok yang melambung tinggi ini dipicu oleh nilai tukar rupiah yang melemah,” sambungnya.
Lebih lanjut, Anggawira mengatakan pemerintah dengan tim ekonominya harus bisa menahan laju depresiasi rupiah sehingga persoalan tersebut segera terselesaikan. “Ya, pemerintah harus benar-benar berpikir ekstra untuk mengatasi persoalan ini. Saya lihat ini kan sepertinya kita tak ada daya. Seharusnya, pemerintah dan tim ekonominya memikirkan solusi agar bisa menahan laju depresiasi nilai tukar rupiah,” tegasnya.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menganggap, kondisi tersebut saat ini lebih dipengaruhi krisis ekonomi di Argentina. Selain sentimen global dari pengetatan suku bunga acuan dari AS, kondisi global lainnya seperti di China, Turki hingga Argentine mempengaruhi rupiah.
"Agak surprise juga Argentina karena dia itu kan sudah dapat bantuan IMF sebetulnya US$ 50 miliar. Orang anggap dia mestinya akan survive akan selamat dengan itu tapi ternyata gerakan capital outflow masih sekarat," ujarnya.
Dengan kondisi tersebut, akhirnya Argentina menaikkan suku bunga hingga 60%. Naiknya suku bunga di Argentina hingga 60% dianggap Darmin membuat pasar terkejut.
"Jadi itu (suku bunganya) sudah tingkat yang luar biasa besarnya, sehingga biasanya kalau sudah gitu, biasanya pasar jittery (terkejut) ya, kan dia 'wah ini nggak beres kalau sudah begini," ujarnya.(dtk/sin/hmi)
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Terkini
Minggu, 21 Desember 2025 | 20:27 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 13:41 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 07:00 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 06:30 WIB
Jumat, 19 Desember 2025 | 06:00 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 18:26 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 18:06 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 07:30 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 07:00 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 06:30 WIB
Kamis, 18 Desember 2025 | 06:00 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 22:41 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 15:10 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:30 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:00 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 07:30 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 07:00 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 06:30 WIB
Rabu, 17 Desember 2025 | 06:00 WIB
Selasa, 16 Desember 2025 | 20:14 WIB