PADAT : Kerumunan penumpang berteduh berteduh di pelataran Stasiun Depok, Jalan RA. Kartini No.1, Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoranmas, Minggu (23/9)
Siapa sangka, Stasiun Depok di Jalan RA. Kartini No1, Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoranmas telah berdiri sejak masa kolonial Belanda.
Laporan : IMMAWAN ZULKARNAIN
Waktu belum tepat menunjukkan pukul 18:00 WIB, dan matahari belum terbenam sepenuhnya. Tapi, ratusan orang sudah berjubel dalam rangkaian kereta commuter jurusan Jatinegara-Bogor memasuki peron Stasiun Depok, yang lebih dikenal sebagai stadela (Stasiun Depok Lama). Tanpa menunggu pintu terbuka sepenuhnya, seketika mereka merangsek keluar dari kereta dan, ibarat air, tumpah ke peron stasiun berkelas Besar C tersebut. Adegan yang persis sama terus berulang setiap hari kerja. Khususnya, saat pagi dan malam hari. Saking padatnya, maka tak heran bila di setiap peek hour (puncak kepadatan), waktu jeda antar kereta cuma 2,5 menit. Sebenarnya, kenyataan ini tidak telalu mengejutkan. Sebab, arsip stasiun mencatat, setiap hari kerja sekitar 40 ribu – 50 ribu orang bepergian melalui stasiun dengan luas bangunan 144 meter persegi ini. Mulai dari berangkat kerja, pulang kerja, atau bepergian untuk keperluan lain. Alhasil, Stasiun Depok Lama menjadi bagian tidak terpisahkan dari perjalanan hidup masyarakat Kota Depok dan sekitarnya. Sayangnya, setelah melihat besarnya peran Stasiun Depok untuk masyarakat, tidak banyak yang mengetahui bahwa stasiun ini telah menjadi bagian hidup masyarakat sejak masa kolonial Belanda. Paling tidak, demikianlah menurut sejarawan dan penulis buku Depok Tempo Doeloe, Yano Jonathans. Di ruang tamu rumahnya, Jalan Melati No1 RT4/10, Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoranmas, Yano, dengan ramah menceritakan sejarah Stasiun Depok Lama kepada Radar Depok. Sambil sesekali memperbaiki posisi alat bantu dengar di telinganya, dan tepat setelah menerima kopi hitam suguhan istrinya, Yano mulai bercerita. Pendirian stasiun Depok merupakan bagian dari jerih payah seorang letnan 1 bernama David Maarschalk. Dia dipercaya oleh pemerintah kolonial Belanda untuk membangun perlintasan kereta sepanjang 58.508 meter, menghubungkan Batavia, sekarang Jakarta dengan Buitenzorg, sekarang Bogor. Tujuannya, demi memudahkan pengangkutan hasil bumi dan rempah-rempah dari Bogor dan sekitarnya ke Batavia. ”Waktu itu, buah-buahan dan palawija di Batavia mayoritas berasal dari kawasan Bogor dan Depok,” terang Yano. Pada masa itu, kenang Yano, stasiun dan perlintasan dibangun diatas tanah liar yang dikelilingi oleh area persawahan warga. Setelah memulai pembangunan rel pada 1869, akhirnya perlitasan kereta Jakarta-Bogor dibuka untuk umum pada 31 Januari 1873. Salah satu momentum penting dalam proses pengerjaan perlintasan kereta adalah, dibentuknya kesepakatan antara gementee (pemerintah) Depok dengan de Nederlansche Indie Staatspoorwegen Maatschappij (NIMS) atau Lembaga Perkereta apian Hindia Belanda. Poin penting dari kesepatan tersebut adalah, setiap kereta yang melintas harus berhenti di Stasiun Depok, yang waktu itu lebih mirip halte kereta. Menurut Yano, kesepakatan ini dibuat oleh pemerintah Depok waktu itu demi membangun interaksi Depok dengan dunia luar. ”Waktu itu, Depok termasuk daerah terpencil yang terisolasi dari dunia luar,” imbuhnya.
-